Selasa, 05 Desember 2017

PROSES KERJA DAN PERSYARATAN JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA

ADMINISTRASI NEGARA? APA ITU?


Secara umum, Administrasi Negara (atau Public Administration) adalah program studi yang mempelajari bagaimana mengelola administrasi secara lebih spesifik, khususnya mempelajari administrasi negara atau administrasi pemerintahan dan unsur-unsur di dalamnya.

Ilmu Administrasi Negara mempelajari seluruh proses yang dilakukan organisasi maupun perseorangan, yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum/peraturan yang dikeluarkan oleh badan legislatif, eksekutif serta peradilan, terutama bagaimana proses kebijakan tersebut diterapkan. 




JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA BELAJAR APA AJA?


Namanya juga administrasi, bidang ini tidak bisa lepas dari pengumpulan dan pengolahan data. Jurusan administrasi negara saat ini tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga mempelajari bagaimana memanfaatkan kecanggihan teknologi dan komunikasi untuk meneliti, menganalisa dan mencari solusi seputar masalah implementasi kebijakan.

Berikut adalah beberapa contoh mata kuliah yang akan di pelajari oleh mahasiswa jurusan administrasi negara: Sistem dan Hukum Administrasi Negara, Demografi, Statistik Sosial, Sumber daya manusia, Manajemen, Administrasi Keuangan, Administrasi Pemerintah Daerah dan lain sebagainya.




SKILL/KETERAMPILAN APA SAJA YANG BISA SAYA DAPATKAN DARI JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA?

Lulusan Program Studi Administrasi Negara memiliki kompetensi dalam hal pengelolaan dan manajemen organisasi publik, seperti Manajemen Sumber Daya Manusia, Manajemen Kinerja, Sistem Pemerintah Daerah, Kepemimpinan, Administrasi Keuangan, Opini dan Kebijakan Publik, Akuntansi Sektor Publik, Perbendaharaan Negara, e-Government, Desain Organisasi baik untuk Instansi Pemerintah maupun Swasta.

Lulusan Program Studi Administrasi Negara dibekali dengan kemampuan, keterampilan, etika, dan pengetahuan tentang sistem administrasi negara, pemerintahan daerah, birokrasi dan demokrasi, keuangan negara, ekonomi politik, akuntabilitas publik dan pengawasan, keuangan daerah, manajemen pelayanan umum, administrasi pembangunan, manajemen perkotaan, administrasi lingkungan, kebijakan publik, hukum administrasi negara, administrasi kepegawaian negara, kepemimpinan, e-government, perencanaan dan manajemen strategis dalam sektor publik

Selain itu mahasiswa jurusan administrasi negara juga mempelajari keterampilan untuk mengelola berbagai jenis organisasi secara komprehensif dan kemampuan mengambil keputusan strategis. 

Kompetensi dasar Sarjana Administrasi Negara adalah sebagai berikut:
  • berdaya saing tinggi secara akademis maupun moral
  • mengidentifikasi, menganalisis, dan menangani masalah-masalah publik berdasarkan landasan metodologis
  • sewaktu menangani masalah, mampu mengungkap struktur dan inti persoalan, dan menjabarkan solusi secara tahap per tahap beserta prioritasnya
  • membuat terobosan-terobosan melalui pemikiran kreatif dan inovatif dalam rangka memberdayakan peran serta masyarakat
  • dapat menggunakan konsep-konsep untuk menerangkan hal-hal yang tidak/kurang jelas
  • mampu bekerja baik secara mandiri maupun kelompok
  • mampu berkomunikasi dengan para pakar dalam bidang keahlian lain dan memanfaatkan bantuan mereka
  • mampu memanfaatkan secara efektif sumber-sumber daya yang ada
  • mampu memulai rintisan pembentukan unit wirausaha di bidang administrasi negara
  • mampu mengikuti perkembangan baru di bidang administrasi negara, melaksanakan penelitian, atau mengikuti program studi di tingkat lebih lanjut.
  • berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan warga.




SETELAH LULUS BISA KERJA JADI APA?


Beberapa jenis pekerjaan para lulusan jurusan Administrasi Negara :

 

1. Aparat Pemerintah / Pengurus Pemerintah Pusat atau Daerah


Terlibat aktif dan bekerja dalam menjalankan roda pemerintahan baik di poros pusat ataupun jangkauan daerah, merupakan pekerjaan inti dari lulusan administrasi negara . Menetapkan kebijakan pemerintah, mengatur jalannya pemerintahan dengan sebaik mungkin, serta menyediakan solusi dari pemerintah untuk permasalahan rakyat adalah beberapa contoh kerja dari lulusan administrasi negara . Untuk itu, menjadi anggota ataupun aparat dari suatu sistem pemerintahan baik itu kecamatan, kelurahan, kabupaten bahkan kementrian pusat, adalah salah satu prospek kerja dari lulusan administrasi negara  yang paling tepat serta menjanjikan.


2. Asisten Peneliti


Menjalankan pemerintahan tentu mengalami berbagai kendala dan masalah yang dihadapi. Begitu juga dengan fenomena – fenomena yang ditemui, khususnya yang ada di masyarakat sebagai sasaran inti dari sistem pemerintahan. Untuk mengatasi hal ini, biasanya para ahli pemerintahan melakukan suatu riset atau penelitian untuk memecahkan suatu masalah yang sekiranya dapat memperbaiki kinerja dan roda pemerintahan yang berjalan.

Dikarenakan cakupan pemerintahan itu sangat luas, baik mencakup satu kecamatan, kelurahan, daerah, kabupaten, provinsi hingga negara, maka penelitian – penelitian yang dilakukan biasanya berlangsung secara besar – besaran. Semua ini dilakukan agar roda pemerintahan dapat berjalan secara berkesinambungan dalam setiap lapisannya. Untuk itu, seorang ahli tidak akan bisa mengerjakannya sendiri. Ia tentu membutuhkan asisten peneliti dalam melakukan risetnya. Lulusan administrasi negara  yang telah dibekali teori – teori pemerintahan yang baik, tentu sangat tepat untuk mengisi posisi ini.


3. Staf ataupun Anggota Legislatif Pusat maupun Daerah


Berpikir secara strategis untuk menentukan kebijakan pemerintahan, telah ditanamkan sejak awal pertama bagi mahasiswa administrasi negara . Selama perkuliahan, tentu mahasiswa administrasi negara  mempelajari strategi – strategi khusus untuk membentuk pemerintahan yang efektif dan sejahtera dalam membangun rakyatnya. Adapun pihak yang memiliki kewenangan untuk menyusun strategi dan menentukan kebijakan pemerintah secara inti ialah anggota legislatif bersama staf – stafnya.

Maka dari itu, tak heran apabila lulusan  administrasi negara sangat tepat untuk menjadi anggota legislatif baik dalam poros pusat ataupun daerah. Berbekal keilmuannya dalam bidang pemerintahan yang sangat baik, diharapkan lulusan  administrasi negara dapat membawa rakyatnya menjadi lebih sejahtera melalui roda pemerintahan yang dijalankannya.


4. Anggota Partai Politik


Salah satu penggerak roda pemerintahan, antara lain adalah partai politik. Ya, politik tentu memegang peranan besar dalam pemerintahan yang berjalan. Partai politik dapat menjadi wadah bagi siapapun yang ingin menyalurkan aspirasinya, jika aspirasinya sesuai dengan visi dan misi yang diemban oleh partai politik tersebut.

Menjadi anggota ataupun partai politik, tentu harus paham dan mengerti bagaimana pola pemerintahan yang digeluti oleh negara Indonesia. Terlibat aktif mewujudkan visi dan misi kebangsaan melalui partai politik, menjadi salah satu prospek kerja bagi lulusan administrasi negara dengan menjadi anggota ataupun aktivis di dalam suatu partai politik.


5. Aktivis LSM / Organisasi Masyarakat


Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Aktivitasnya biasanya membela masyarakat yang tertindas, membantu masyarakat yang tertinggal, yang pada intinya membantu membangun masyarakat agar dapat hidup ideal sesuai dengan hukum yang berlaku. Begitu juga dengan organisasi masyarakat atau Ormas. Ormas adalah organisasi yang dibentuk dan dijalankan dengan berbasis pada masyarakat, tidak bertujuan politis dan dibentuk atas dasar beberapa kesamaan kepentingan dalam suatu bidang, seperti bidang agama, pendidikan ataupun sosial.

Adanya LSM dana Organisasi Kemasyarakatan yang perlu dijalankan dengan suatu struktur organisasi yang baik, menjadi prospek kerja bagi lulusan administrasi negara. Lulusan administrasi negara yang dibekali bagaimana menjadikan masyarakat menjadi ideal dengan suatu kebijakan yang efektif, dirasa tepat untuk mengisi LSM ataupun organisasi masyarakat secara aktif dan produktif. Keproduktifan lulusan administrasi negara di dalamnya dapat membawa lulusan tersebut menjadi seorang aktivis.


6. Jurnalis Pemerintahan / Politik


Lulusan administrasi negara tentu selalu dituntut untuk peka terhadap isu – isu pemerintahan maupun politik. Lulusan administrasi negara juga telah ditempa untuk dapat menganalisa dengan sebaik mungkin untuk melaporkan, mengembangkan hingga memberdayakan hasilnya menjadi sebuah jalan keluar dari masalah – masalah yang dihadapi dalam pemerintahan. Kemampuan untuk peka, mendata serta melaporkan dalam ruang lingkup pemerintahan tersebut, juga berguna bagi prospek kerja lulusan administrasi negara yang lain, yaitu jurnalis.

Ya, jurnalis yang bertugas khusus dalam meliput berbagai berita dan fenomena mengenai politik dan pemerintahan, merupakan prospek kerja yang menjanjikan bagi lulusan administrasi negara. Pekerjaan ini sangat tepat karena selain pintar menganalisis, lulusan administrasi negara juga pasti telah menguasai materi – materi dasar dari fenomena politik ataupun fenomena pemerintahan yang diliputnya.


7. Konsultan Pemerintahan


Jalannya roda pemerintahan tentu mengalami berbagai jenis hambatan. Agar hambatan tersebut hilang dan kerja pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka hambatan dan masalah – masalah yang mengganggu pun harus segera dipecahkan. Tugas memberikan solusi, masukan, ataupun merumuskan strategi yang dirancang agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, adalah tugas dari konsultan pemerintahan. Ya, seringkali konsultan pemerintahan dibutuhkan untuk menangani masalah – masalah khusus dalam pemerintahan.

Menjadi konsultan pemerintahan, tentu sangat tepat bila menjadi prospek kerja yang menjanjikan bagi lulusan administrasi negara. Karenanya menjadi konsultan sangat membutuhkan strategi – strategi dan pemikiran yang brilian untuk membangun pemerintahan yang baik, yang tentunya harus dilandasi dengan pengetahuan dan teori – teori mengenai pemerintahan. Maka dari itu, menjadi konsultan pemerintahan adalah salah satu prospek kerja yang paling diincar oleh para lulusan administrasi negara.


8. Tenaga Pendidik atau Dosen


Mempelajari dengan detail dan menyeluruh mengenai ilmu pemerintahan, tentu menjadikan lulusan administrasi negara sangat menguasai seluk beluk dunia pemerintahan baik dari segi teori maupun praktis. Dengan adanya kedalaman pengetahuan atas keilmuan yang dipelajari ini, menjadi dosen ataupun tenaga pendidik dalam bidang ilmu pemerintahan pun juga menjadi prospek kerja dari lulusan administrasi negara. Melakukan transfer ilmu pada orang lain  mengenai pemerintahan dan bertujuan untuk membangunnya secara bersama – sama, merupakan salah satu tugas mulia dari profesi dosen Ilmu Pemerintahan yang dinilai cukup menjanjikan ini.

APAKAH LULUSAN ADMINISTRASI NEGARA BISA BEKERJA DI SEKTOR SWASTA?


Perusahaan swasta tetap membutuhkan para lulusan jurusan Ilmu Administrasi Negara. Seperti yang telah dijelaskan di atas, para lulusan administrasi negara memiliki keterampilan dalam menganalisa dan mengevaluasi penerapan sebuah solusi. Keterampilan ini sangat penting untuk membantu perusahaan apa pun dalam menetapkan jalur yang akan mereka tempuh demi kemajuan mereka di masa depan. Jika kamu yang sebagai lulusan administrasi negara juga memiliki kelebihan lain, misalnya seperti menguasai lebih dari satu bahasa asing, kuat dalam bidang-bidang teknologi  (misalnya MS, WORD, EXCEL,POWER POINT, ADOBE PHOTOSOP, COREL DRAW DLL), tentunya akan lebih meningkatkan prospek kerja kamu. Apalagi jika dibarengi dengan pengalaman organsasi atau pengalaman lainnya yang ditempuh sewaktu kuliah.

BAGAIMANA CARA UNTUK MENDAFTAR KE JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK?


Untuk mendaftar ke program sarjana (bachelor), secara umum harus memenuhi 2 persyaratan ini: lulus sekolah menengah atas dengan rata-rata di atas 7, dan skor tes TOEFL minimal 570.


Persyaratan di setiap universitas berbeda-beda. Sebelum mendaftar, disarankan untuk melihat persyaratan masuk universitas yang diminati. Informasi persyaratan pendaftaran dapat dilihat di bagian ‘admission’ di setiap situs universitas.

Untuk mendaftar ke program S2, selain memenuhi persyaratan akademis (transkrip dan sertifikat kelulusan S1) dan bahasa Inggris, perlu juga melampirkan surat rekomendasi, surat evaluasi diri (jika diminta), dan beberapa universitas juga meminta statement of purpose. Tergantung universitas, wawancara mungkin akan diwajibkan sebelum dinyatakan untuk diterima.

Selasa, 23 Desember 2014

SISTEM SOSIAL INDONESIA

SISTEM SOSIAL INDONESIA




DR.NASIKUN





RAJAWALI PERS
CITRA NIAGA BUKU PERGURUAN TINGGI
JAKARTA
ISBN 979-421-083-8









Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sistem Sosial Indonesia/Nasikun.-
Ed.1-20-Jakarta: Rajawali Pers,2012.
vi.108 hlm.,21 cm.
ISBN. 979-421-083-8
Cetak ke- 20,April 2012
BAB I
PENDAHULUAN

Tak terpikir oleh kami betapa berbahayanya bagi anak – anak sebaya kami menyaksikan sebuah pertempuranyang bakal terjadi itu, seolah – olah kami menyaksikan anak – anak sedang bermain jethungan saja. Pada waktu itu pikiran kanak – kanak kami  masih belum mampu memahami betapa perang merupakan permainan orang – orang dewasa yang jauh lebih berbahaya daripada permainan anak – anak yang manapun. Sedikitpun, kami tak ada rasa takut menyaksikan pertempuran yang segera akan pecah tidak berapa lama lagi. Kami justru takut sebuah bentakan dan makian yang datang dari arah belakang,ketika ayah salah seorang di antara kamiberhasil menemukan kami sedang asik menyaksikan permainan yang sangat berbahaya itu.
            Pertempuran tersebut memang tidak berlangsung terlalu lama,karena pasukan polisi ternyata harus mengundurkan diri dengan meninggalkan korban.sementara itu kematian anak tersebut segera saja menjadi bahan  pembicaraan teman – teman sekolah dan penduduk kampung. Ketika kami mengetahui bahwa kematiannya ternyata terjadi dalam menunaikan tugas sebagai penunjuk jalan yang berani bagi pasukan polisi.
            Hilangnya cerita tentang kematian anak tersebut dari ingatan penduduk di tanah kelahirannya,maka cerita tentang akhir pertempuran itupun menjadi tidak penting lagi tuturkan. Cerita tentang pertempuran itu sendiri hanya di maksudkan untuk menyatakan betapa persoalan tentang konflik antar kekuatan – kekuatan sosial politik di indonesia yang mendasari  terjadinya pertempuran tersebut. Ketika  usia penulis semakin bertambah dewasa dan pengetahuan  pun semakin bertamabah. Semakin teranglah di dalam pengertian penulis betapa pertempuran yang penulis saksikan pada masa kanak – kanak itu sekedar merupakan cukilan kecildari gambaran yang utuh tentang konflik – konflik yang di alami oleh bangsa Indonesia. Semakin mengertilah penulis betapa lembaran sejarah bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Melewati tahun 1945, pertentangan – pertentangan semacam itu justru terjadi di antara tokoh – tokoh dan kelompok – kelompok  sosial politik. Pada hal sebelumnya  hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan bangsa mampu melupakan kepentingan masing – masing untuk saling bahu – membahu menciptakan kemerdekaan  bangsa.
             Keadaan yang demikian mengingatkan penulis pada  pernyataan beberapa  ahli ilmu kemasyarakatan bangsa asing yang menganggap semboyan “ Bhineka Tunggal ika” sesungguhnya masih  lebih  merupakan suatu cita – cita  yang harus di perjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia dari pada sebagai kenyataan yang benar – benar hidup di dalam masyarakat. Dalam pada itu, kenyataan bahwa gagasan – gagasan tentang persatuan nasional  senantiasa muncul setiap kali  bangsa Indonesia sedang di ancam oleh pertentangan – pertentangan pendapat yang cukup gawat di antara kekuatan – kekuatan  sosial politik tertentu,  barangkali dapat kita pandang  sebagai perwujudan dari pada kenyataan bahwa Bhineka Tunggal Ika memang masih merupakan cita – cita bangsa Indonesia yang masih harus terus – menerus diperjuangkan. Kendati banyak orang menganggap bahwa masalah konflik  dan integrasi nasional yang di alami oleh bangsa Indonesia masih tidak separah yang di hadapi oleh misalnya Malaysia atau India, kendati berapa di antara mereka menganggap masalah konflik dan integrasi nasional lebih merupakan  masalah yang di hadapi oleh bangsa Indonesia pada tahun – tahun lima puluhan, namun hal iti sama sekali tidak berarti  bahwa masalah konflik dan integrasi nasional sudah tidak lagi di hadapi oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi,konflik – konflik sosial di dalam berbagai masyarakat senantiasa memeliki derajat dan polanya masing – masing. Mengapa ? Karena sumber yang menyebabkannya mempunyai ragam dan pola yang tidak sama pula. Seperti layak setiap orang enggan membicarakan kericuhan yang terjadi di dalam keluarganya, maka kita pun sering kalienggan pula mempersoalkan pertentangan- pertentangan yang terjadi di antara sesama bangsa indonesia.Secara psikologis kita memiliki kecenderungan untuk menekan  kenyataan – kenyataan tersebut di dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja oleh karena kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat menghindarkan konflik – konflik yang lebih tajam, melainkan juga oleh karena kita sesungguhnya enggan mengakui kenyataan – kenyataan tersebut. Konflik di antara sesama kita adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong – royongyang kita muliakan itu,sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tungga Ika yang kita junjung tinggi.
            Menyelesaikan konflik – konflik yang terjadi di antara sesama kita dengan cara yang demikian, adalah laksana memasukkan api dalam sekam. Sementara  kita terpesona oleh anggapan bahwa konflik yang terjadi di antara kita telah dapat kita selesaikan dengan jiwa dan semangat gotong – royong yang kita miliki, semangat Bhineka Tunggal Ika. Sebaliknya, dengan menyadari akan adanya konflik – konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat, justru memiliki kemungkinanyang lebih besar untuk memahami faktor – faktor yang menyebabkannya. Sementara  itu dengan pengertian – pengertian yang mendalam tentang sumber – sumber laten yang menyebabkan timbulnya konflik – konflik sosial di dalam masyarakat , kita memilki kemungkinan yang besar pula untuk menyusun suatu kebijaksanaan yang bersifat fundamental unutk mengelimir sumber – sumber konflik serta menghindarkan kemungkinan timbulnya konflik – konflik sosial semacam itu di kemudian hari.
            Kendati masalah konflik dan integrasi telah menjadi pertanyaan amat klasik sejak awal  sejarah pertumbuhan  teori – teori  sosiologi di dalam bentuk pertanyaan tentang “ bagaimana masyarakat itu berintegrasi “,usaha para ahli sosiologi untuk menjawab pertanyaan tersebut  ternyata telah melahirkan banyak sekali aliran pemikiran, masing-masing dengan sudut penglihatan yang berbeda- beda. Adanya beraneka – ragam aliran-aliran pemikiran mengenai bagaimana suatu masyarakat terintegrasi itulah maka suatu  sudut pendekatan tertentu perlu ditetapkan  lebih dahulu sebelum suatu pembahasan tanpa arah terlanjur berkembang.

BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
         
Sudut pendekatan tersebut menggangap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat.
Selanjutnya di sebut pendekatan  fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural. Teori – teori yang mendasarkan diri pada sudut pendekatan tersebut,biasa di kenal  pula sebagai integration theories,order theories,equilibrium theories,atau lebih di kenal sebagai teori – teori fungsional – struktural.
Perlu kita maklumi bersama, bahwa fungsionalisme struktural mula – mula sekali tumbuh dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis, suatu pendekatan yang seringkali kita kenal sebagai organismic approach. Plato, misalnya membandingkan tiga kelas sosial  : yakni penguasa, militer,dan kaum pekerja tangan, masing – masing  dengan daya pikir, perasaan  atau semangat, dan napsu. Cara menganalogikan masyarakat dengan organisme giologis berkembang subur pada masa sebelum Auguste Comte memperkenalkan  filsafat positifnya, dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila pendekatan  organismik muncul terutama pada awal pertumbuhan sejarah sosiologi. Perwujudan  yang paling penting dari pendekatan  tersebut  tergambar dalam usaha untuk menerangkan  hubungan antara konsep  struktur dan fungsi, yang sudah uncul di dalam pemikiran  Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan yang kemudian mencapai bentuk  yang lebih jelas di dalam pemikiran para ahli antropologi Inggris seperti Bronislow Malinowski dan  Red-cliffe-Brown. Pendekatan  tersebut pada akhirnya mencapai tingkat perkembangannyayang sangat berpengaruh di dalam sosiologi Amerika, khususnya di dalam pemekiran Talcott Parsons. Pendekatan itulah yang sekarang sangat dikenal sebagai pendekatan fungsionalisme struktural.
Pendekatan fungsionalisme  struktural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut :
1)        Masyarakat  haruslah di lihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan  satu sama lain.
2)        Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.
3)        Sekalipun integrasi  sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna,namun secara fundamental sistem sosial selalu  cenderung bergerak  ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis.
4)        Sekalipun disfungsi, ketegangan- ketegangan , dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga,akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian – penyesuaian dan proses institusionalis.
5)        Perubahan – perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian – penyesuaian, dan tidak secara revolusioner.
6)        Pada dasarnya ,perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam  kemungkinan : penyesuaian-penyesuaian yang di lakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang  dari luar; pertumbuhan  melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional ; serta penemuan – penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat.
7)        Faktor paling  penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai – nilai kemasyarakatan tertentu.

Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.

Proses,adalah sebagai berikut : karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian – pengertian yang sama  mengenai situasi-situasi tertentu ( sharing the same definition of the situation ) dalam bentuk norma-norma sosial, maka tingka laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa kedalam bentuk suatu struktur sosial tertentu.

Dua macam mekanisme sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat dapat di kendalikan pada tingkat dan arah menuju terpeliharanya kontinuitas sistem sosial,yakni mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial ( sosial control ) setiap situasi sosial senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal,yakni : tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial.

Dalam pada itu, anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial memilki kecendurangan untuk mencapai stabilitas atau ekuilibrium di atas konsensus para anggota masyarakat  akan nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian menggangap bahwa disfungsi, ketengangan-ketengangan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial semakin kompleks,adalah akibat daripada pengaruh faktor-faktor yang datang dari luar. Anggapan  semacam itu mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut :
1)        Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal,yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
2)        Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar ( extra-systemic change) tidak selalu bersifat adjustive.
3)        Suatu sistem sosial, di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle.
4)        Perubahan – perubahan sosial tidak selalu  terjadi secara gradual melaliu penyesuaian-penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
Suatu sistem sosial memang seringkali mampu melakukan penyesuaian penyesuaian terhadap perubahan perubahanyang datang dari luar,dan ole karenanya maampu mengikuti perubahan perubahan tersebut tanpa mengalami disintegrasi sosial.Akan tetapi,sebalikny,suatu sistem sosial dapat juga bersikap menolak perubahan perubahan yang datang dari luar,baik dengan cara tetap memelihara status quo maupun dengan cara melakukan perubahan perubahan yang bersifat reaksioner.
Sementara conflic approach masi dapat kita bedakan atas dua macam pendekan yang lebih kecil,yakni structuralist-Marxist dan structuralist non-Marxist pokok-pokok pikiran yang akan penulis sajikan berikut ini terutama berpangkal pada anggapan-anggapan dasardari pendekatan structuralist-Marxis.berbeda dari fungsionalisme strutural, maka pandangan pendekatan konflik berpakal pada anggapan-anggapan dasar berikut ini:
1)        Setiap masyarakat senantiasa berbeda didalam proses perubahan yang tidak perna berakhir,atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupankangejala yang melekat didalam setiap masyarakat.
2)        Seiap masyaraka mengandung konflik-konflik di dalam dirinya,atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupankan gejala melekat di dalam setiap masyarakat.
3)        Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial .
4)        Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasan atau dominan oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
              Pembagian otoritas yang bersifat dikotomis serupa itu oleh para penganut pendekatan konflik di anggap menjadi sumber timbulnya konflik-konflik sosial di dalam masyarakat.mengapa?karna pembagian otoritas demikian, di dalam dirinya sendiri, menimbulkan kepentiangan-kepentingan yang berlawanan satu sama yang lain.pembagian otoritas yang demmikian mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang otorits dan mereka yang tidak memiliki otoritas memiliki kepentingan-kepentingan, yang baik secara substansialmaupun arahnya, berlawanan satu sama lain. Apa yang di maksud dengan kepentiangan oleh para penganut pendekatan konflik, bukanlah kepentingan dalam artinya yang bersifat”subyektif” sebagaimana di rasakan oleh orang-orang lain melainkan kepentingan yang secara “obyektif” melekat di dalam kedudukan  sosial tertentu.
              Dengan pengertian yang demikian itulah maka para penganut pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat  selalu terdapat konflik  antara kepentingan dari mereka yang mengalami kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara bahkan mengukuhkan status-quodari pola hubungan-hungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereke yang memiliki kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah atau merombak status- quo dari pola hubungan-hubungan tersebut.karena kepentingan-kepentingan yang demikian tidak selalu di sadari adanya, maka ia di sebut sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat laten (latent interest), sementara mereka yang memiliki di sebut sebagai kelompok semu (quasi-groups) mengingat kenyataan bahwa pola hubungan-hubungan sosial berkembang di antara  para anggotanya terbentuk melalui proses yang tidak mereka sadari
              Sementara itu suatu kelompok semu tidaklah  dengan sendirinya begitu saja menjelma menjadi kelompok kepentingan. Dahrendorf menyebutkan tiga macam syarat yang bersifat kondisional yang akan mungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir kedalam bentuk kelompok kepentingan.
              Prasyarat yang pertama adalah apa yang ia srbut sebagai kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi ( technical conditions of organization ).Apa yang maksudkan sebagai kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi tersebut adalah munculnya sejumlah orang-orang tertenyu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interests dari suatu kelompok semu menjadi manifest interests berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai orang.
              Selain membutukan prasyarat yang bersifat teknis munculnya suatu kelompok kepntingan masi membutukan prasyarat yang kedua,yakni apa yang oleh Dahrendorf disebut sbagai kondisi-kondisi politis dari suatu organisasi ( political conditions of organization ) Apa yang ia maksudkan dengan kondisi-kondisi politik yang ada di sini,ialah adanya tidak kebebasan politik untuk berorganisasi yang di berikan oleh masyarakat.Bagaimana matangnya kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi,kelompok semu tetap tidak akan terorganisir kedalam bentuk kelompok kepentingan.
              Diluar kondisi-kondisi teknis dan kondisi-kondisi politis msih di butuhkan prasyarat lain agara adanya para pemimpin,idiologi,dan kebebesan berorganisasi benar-benar mengakibatkan munculnya kelompk kepentingan. Prasyarat yang ketiga ini oleh Dahrendorf disebut sebagai  kondisi-kondisi sosial bagi suatu organisasi ( social condition of organization), yakni adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Ketiga kondisi tersebut, yakni : kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, kondisi-kondisi sosial,secara bersama-sama menjadi intervening variables  bagi munculnya kelompok kepentingan, yang  sebagaimana telah di sebutkan di muka selalu berada di dalam situasi konflik. Selaku demikian,ketiganya hendaknya di pandang di dalam hubungannyadengan suatu proses yang bersifat dinamis. kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi politis, kondisi-kondisi sosial tersebut tidak saja menjadi prasyarat  bagi munculnya kelompok kepentingan, akan tetapi lebih lanjut  juga mempengaruhui derajat ekfektivitas.
              Dari situlah  asal mulanya mengapa para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap baha konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin di lenyapkan. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan  masyarakat , ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri.
              Bentuk pengedalian konflik-konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang di sebut konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuh pola diskusi dan pengambilan keputusan – keputusan di antara pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
              Dalam pada itu, agar lembaga- lembaga tersebut dapat berfungsi secara efektif, lembaga – lembaga yang di yang di maksudharus memenuhi sedikitnya empat hal berikut :
1)      Lembaga – lembaga tersebut harus merupakan lembaga-lembaga yang bersifa totonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan tanpa campur tangan dari badan- badan lain yang ada di luarnya.
2)      Kedudukan lembaga-lembaga tersebut di dala masyrakat yang bersangkutan harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian.
3)      Peranan  lembaga-lembaga  tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu merasa terikat kepada lembaga-lembaga tersebut, sementara keputusan-keputusan mengikat kelompok-kelompok tersebut beserta dengan para anggotanya.
4)      Lembaga-lembaga tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus di dengarkan dan di beri kesempatan unutk menyatakan pendapat-pendapatnya sebelum keputusan-keputusan tertentu di ambil.
              Tanpa hadirnya keempat hal tersebut,maka konflikkonflik yang terjadi di antara berbagai kekuatansosial akan menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya tanpa dapat di dugasebelumnya akan meledak ke dalam bentuk kekerasan. Namun demeikian,semuanya itu hanya mungkin deselenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan itu sendiri mampu memenuhi tiga macam persyaratan sebagai berikut :
1.      Masing-masing kelompk yang terlihat di dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka, karena itu menyadari pula perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
2.      Pengendalian konflik-konflik tersebut hanya mungkin di lakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3.      Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan-hubungan sosial di antara mereka menemukan suatu pola tertentu.
Dalam keadaan yang demikian,maka suatu cara pengendalian yang lain di butuhkan apabila kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Cara pengendalian yang demikian berupa apa di sebut mediasi ( mediation ), yakni kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjuk  pihak ketiga yang akan memberikan “nasihat-nasihat”-nya tentang bagaimana mereka sebaliknya menyelesaikan pertentangan mereka. Sekalipun nasihat-nasihat pihak ketiga tersebut tidak  mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, namun cara pengendalian ini kadang-kadang mengahsilkan  penyelesaikan yang cukup efektif pula oleh karena cara ini memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di dalam setiap  konflik, memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan menarik diri tanpa harus kehilangan muka,  mengurangi pemborosan yang di keluarkan untuk membiayai  pertentangan dan lain sebagainya.
              Ketiga jenis pengendalian konflik  tersebut di atas, baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian  konflik yang bertingkat-tingkat maupun di pandang sebgai cara-cara yang berdiri sendiri-sendiri,  memeliki daya kemampuan  unutk mengurangi atau menghindarkan  kemungkinan-kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan.                                                                                                 



BAB  III
 STRUKTUR MAJEMUK
MASYARAKAT INDONESIA

          Pandangan  para penganut pendekatan konflik tersebut bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, akan tetapi jelas bawah pandangan tersebut menutup kelemahan-kelemahan yang kita jumpai  pada pandangan  para penganut pendekatan fungsionalisme struktural. Oleh karena itu, mensintesiskan keduanya  untuk menganalisis bagaiman suatu sistem sosial bekerja,merupakan  tindakan yang lebih menguntungkan daripada menggunakan salah satu di antaranya secara tersendiri. Pertimbangan menyintesiskan kedua macam pendekatan tersebut untuk sebagian tentu saja di anjurkan pula oleh van den berghe ketika ia menyatakan bahwa suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik dapat di lakukan mengingat bahwa keduanya mengandung kesamaan-kesamaan tertentu. Kebutuhan unutuk mensintesiskan keduanya menjadi lebih penting lagi artinya apabila kita dihadapkan pada keharusan unutk menganalisis masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Yang pertama secara horisontal,ia di tandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama,adat. Yang kedua secara vertikal,struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bahwa yang cukup tajam.
          Perbedaan – perbedaan  suku-bangsa,agama,adat dan kedaerahan du sebut sebagai  ciri masyarakat  yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali di perkenalkan oleh furnivall untuk menggambarkan masyarkata Indonesia pada masa Hindia-Belanda.
          Masyarakat Indonesia pada masa Hindia-belanda,demikian menurut Furnivall,merupakan suatu masyarakat majemuk ( plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah Tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang di kuasai memeliki perbedaan ras.        
          Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama( Common Will ).Di dalam kehidupan ekonomi,tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan pernyataannya di dalam bentuk tidak adanya permintaan sosial yang di hayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand ).Setiap masyarakat politik ,demikian menurut Furnivall,dari kelompok nomad sampai  bangsa yang berdaulat. Kebutuhan – kebutuhan keagamaan,politik dan keind
Han,pendek kata semua kebutuhan kultural,memiliki aspek ekonomi oleh karena semuanya pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan-kebutuhan ekonomi,yakni sebagai permintaan atau demand masyarakat secara keseluran. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, seperti halnya dengan masyarakat  Indonesia pada masa Hindia-Belanda, permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir,melainkan bersifat seksional (sectional), dan tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat.
          Di dalam setiap masyarakat memang selalu terdapat  konflik kepentingan antara kota dan desa,antara kaum modal dan kaum buruh,akan tetapi lebih-lebih di daam masyarakat majemuk maka konflik kepentingan tersebut menemukan sifatnya yang lebih tajam oleh karena perbedaan kepentingan ekonomi jatuh bersamaan dengan perbedaan ras.
          Suatu masyarakat majemuk,demikianlah apa ayang dapat kita simpulkan dari konsepsi Furnivall,yakni suatu  masyarakat di mana sistem nilai yang di anut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarkat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu  masyarakat, adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara  struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat  diverse. Masyarakat yang demikian di tandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsesus yang di sepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai  dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuk yag relatif murni.
          Hanya saja perlu kita sadari,bahwa berbeda adari furnivall yang mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia di dalam konteks masyarakat kolonial yang menbedakan golongan-golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan pribumi, maka kemerdekaan harus dimengerti di dalam konteks perbedaan-perbedaan internal di antara golongan Pribumi.
          Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan/geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan lebih 1.000 mil utara ke selatan,merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap  terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia. Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang sekarang kita kenal sebagai daerah tiongkok selatan pada kira-kira 2.000 tahun sebelum masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan suku-bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain. Tiap kesatuan suku-bangsa terdiri dari sejumlah orang yang di persatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang  diri mereka masing-masing sebgai suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualihan yang sangat kecil,mereka pada  umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih daripada itu,mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama,suatu kepercayaan yang seringkali di dukung oleh mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
          Faktor yang kedua,yakni kenyataan bahwa Indoneisa terletak di antara samudra Indonesia dan Samudera Pasific,sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena letaknya yang berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut melalui kedua samudra tersebut, maka masyarakat  Indonesia telah sejak lama sekali memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh  yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi. Hinduisme  dan Budhaisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia,serta lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli  yang telah hidup lebih dahulu sebelum itu.
          Hasil final daripada semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar jawa,hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis berada di jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama islam,golongan islam konservative-tradisionalist di daerah-daerah pedalaman,dan golongan kristen ( Katolik Dan Protestan ) di daerah-daerah Maluku,Nusa Tenggara Timur,Sulawesi Utara,Tapanuli, dan daerah Kalimantan Tengah,serta golongan Hindu Bali ( Hindu Darma ) terutama di pulau Bali,di pulau jawa,kita jumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat;golongan Islam konservative-tradisionalis di daerah-daerah pedalam Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan golongan Islam nominal yang biasa disebut juga sebagai golongan ”abangan”terutama di daerah-daerah Jawa Timur,serta golongan minoritas Kristen yang tersebar hampir di setiap daerah perkotaan di jawa.
          Pemerintahan Hindia-Belanda yang berlangsung tidak kurang dari 350 tahun itu bukannya meniadakan kontras antara Jawa dan luar jawa,melainkan membiarkannya demikian. Sebagaimana kita ketahui bersama, maka sejak abad ke-18 tekanan perdagangan Belanda berpindah dari daerah Maluku ke pulau Jawa. Sejak saat itu pengawasasn pemerintah Hindia-Belanda Terhadap daerah-daerah di luar Jawa menjadi lebih bersifat tidak langsung.
          Perbedaan-perbedaan suku-bangsa,agama,dan regional yang telah diuraikan di atas merupakan dimensi-dimensi horinsantal daripada struktur masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke aktu,dapat kita saksikan  dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan. Semakin meluasnya pertumbuhan sektor ekonomi modern besera organisasi administrasi nasional yang mengikutinya, maka kontras pelapisan sosial antara sejumlah besar orang-orang yang secara ekonomis dan politis berposisi lemah pada lapisan bawah, dan sejumlah kecil orang-orang yang relatif kaya dan berkuasa  pada lapisan  atas menjadi semakin mengeras. Proses tumbuhnya ketimpangan yang demikian mempunyai akarnya di dalam struktur ekonomi Indonesia pada zaman Hindia-Belanda,yang oleh Boeke di gambar sebagai dual economy.
          Di dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sektor ekonomi yang sangat  berbedah sekali wataknya berhadapan satu sama lain. Sektor yang pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih ( sophisticated ), banyak bersentuhan dengan lau-lintas perdagangan  internasional, dibimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan yang maksimal, dan di dalam konteks masyarakat kolonial hampir sepenuhnya di kuasai oleh orang-orang asing atau keturunan orang-orang asing, termasuk golongan penduduk tionghoa,yang terutama berasal dari daerah-daerah metropolitan di mana pusat kekuasaan  pemerintahan dan kegiatan ekonomi berada.Sektor yang kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional,yang menurut teori ekonomi modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada sikap-sikap konservatif, dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak berminat pada usaha-usaha untuk memperoleh keuntungan dan penggunaan sumber-sumber secara maksimal, lebih berorientasi pada motif-motif  untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan- kepentingan sosial daripada menanggapi rangsangan-rangsangan dari kekuatan – kekautan intenasional, serta kurang mampu  mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara dinamis.
          Perbedaan antara kedua sektor tersebut secara integral berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat pedesaan yang bersifat modern.
          Gambaran berikut hanya melukiskan pola stratifikasi sosial berdasarkan ukuran luasnya pemilikan tanah di daerah –daerah Jawa Barat,Jawa Tengah,Jawa Timur,Sulawesi dan Nusa Tenggara, namun barangkali telah cukup menunjukkan kepada kita sampai seberapa jauh polarisasi sosial di dalam masyarakat Indonesia telah berkembang.
            Lebih daripada itu, Pancasila pada hakikatnya bahkan dapat di pandang sebagai perwujudan daripada nasionalisme itu sendiri. Atau kalau ingin dinyatakan secara lebih rinci, maka kita barangkali boleh menyebutkan sebgai berikut. Pertama,Pancasila, sebagaimana halnya dengan nasionalisme yang tumbuh di kebanyakan negara-negara bekas jajahan, pada hakikatnya, merupakan pernyataan  perasaan antikolonialisme. Kedua,Pancasila pada hakikatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersamakan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Ketiga, Pancasila, pada hakikatnya,merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan, atau dijabarkan, ke dalam bentuk norma-norma hukum berundang-undang.



BAB IV
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI
PERWUJUDAN STRUKTUR SOSIAL
MASYARAKAT INDONESIA


Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, regional,dan pelapisan sosial tersebut secara analitis memang dapat di bicarakan sendiri-sendiri,akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan maryarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah mengahsilkan  terjadinya berbagai-bagai “ kelompok semu “ yang di dalam konteks pengertian populer dapat kita sebut sebagai “ golongan “ yang akan  menjadi sumber di mana anggota-anggota” kelompok kepentingan”terutama direkrut.
            Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa itu membawa akibat yang luas dan mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyrakat Indonesia, di dalam hubungan-hubungan politik, ekonomi, hukum,kekeluargaan dan sbagainya.
            Salah satunkelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah apa yang kita kenal sebagai partai politik. Pada awalnya pertumbuhannya di Indonesia,kelompok-kelompok kepentingan semacam itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kultural daripada bersifat politis. Baru di kemudian hari maka kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam bentuknya sebagai partai politik. Di dalam hal ini ,hanya beberapa partai politik saja yang di sebutkan unutk sekedarn menggambarkan bagaimana sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di dalam watak yang dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
            Pertama kali adalah partai Masyumi, yang menurut hasil pemilihan umum tahun 1955 merupakan partai paling besar sesudah PNI ( Partai Nasional Indonesia ), dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga sesudah Masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut melampaui serangkain proses kristalisasi yang cukup panjang. Pada tahun 1943, atas praarsa pemerintah penjajahan jepang,beberapa organisasi keagamaan termasuk Muhammadiyah Nahdatul Ulama bergabung ke dalam  suatu organisasi massa dengan nama “Masyumi” ( Majelis Syuro Muslimin indonesia ). Pada permulaan  revolusi, organisasi massa tersebut mengubah  dirinya menjadi suatu partai politik yang berdri di atas landasan organiasasi-organisasi keagamaan dengan Muhammadiyah dan Naddatul ulama sebagai dua di antara anggota-anggotanya yang paling besar.
            Sekalipun  pusat organisasi Muhammadiyah berada di Jawa, namun basis pendukungnya terutama berasal dari Sumatera, Sulawesi Selatan,Jawa barat, dan daerah- daerah sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kenal bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang, yang terbentuk dalam waktu berabad-abad lamanya melalui kontak kebuyaan dan perdagangan. Masyumi sendiri sangat mengarapkan dukungan dari banyak umat islam di daerah-daerah pedesaan, justru  dari kegiatan para pemimpin Nahdatul Ulama. Barangkali oleh karena menyadari hal inilah, maka lemahnya kedudukan para pemimpin Nahdatul Ulama di dalam proses pengambilan keputusan-keputusan partai telah mengakibatkan hubungan mereka dengan para pemimpin Muhammadiyah senantiasa mengalami ketengangan-ketengangan.
            Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat penting di dalam kehidupan politik di Indonesia pada masa-masa yang silam adalah PNI ( Partai Nasional Indonesia ), yang menurut hasil Pemilihan Umum tahun 1955 merupakan partai yang paling besar. Sejak awal kelahirannya pada tahun 1927, PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, yang sebagaimana telah kita uraikan di muka kebanyakan berasal dari golongan elit tradisional jawa yang berpendidikan.
            Dalam pada itu setiap pembicaraan mengenai pola kepartaian di Indonesia tidak mungkin mengabaikan sebuah partai yang menurut hasil pemilihan Umum tahun 1955 merupakan partai terbesar nomor empat sesudah Nahdatul Ulama, yakni Partai Komunis Indonesia ( PKI ). Seperti halnya PNI,maka PKI memperoleh Dukungan sangat kuat terutama dari golongan Islam Non-Santri di daerah-daerah jawa Tengah dan Jawa Timur. Lebih daripada PNI, maka PKI memiliki basis massanya terutama di dalam lapisan bawah masyarakat desa di kedua daerah tersebut.
            Melihat struktur politik yang demikian, kita menjadi lebih mengerti betapa konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam, untuk sebagian, pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial-kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa,agama,daerah, dan stratifikasi sosial.
            Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan timbulnya berbagai cara melihat pola kepartaian dan perilaku politik yang di wujudkan oleh berbagai partai politik di Indonesia Herbekrt Feith, misalnya, melihat konflik- konflik  politik di indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional ( tradisi Hindu-Jawa dan islam ) di satu pihak, dengan  pandangan dunia modern ( khususnya pandangan dunia barat ) di lain pihak. Perwujudannya dinyatakan oleh konflik ideologis di antara lima buah aliran pemikiran politik, yakni : Nasionalisme radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam sosialisme Demokrat, dan Komonisme. Donald Hindley, semetara itu, melihat keragaman pola kepartaian di Indonesia bersumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang menyilang, yakni : penggolongan yang bersifat keagamaan di satu pihak, dan penggolangan atas penganut pandangan dunia tradisional dan penganut pandangan dunia modrn di lain pihak. Kendati begitu baik Herbert feith maupun Donald Hindley melihat juga bagaimana perbedaan-perbedaan suku-bangsa,agama, daerah, dan stratifikasi sosial ikut serta memberikan model penglihatan mereka masing-masing. Berhasil tidaknya fusi partai-partai politik itu sendiri, yang sebagaimana kita ketahui terutama terjadi atas prakarsa pemerintah, justru akan sangat tergantung pada  seberapa jauh perubahan-perubahan sosail-kultural yang mendasari pola kepartaian di Indonesia itu akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.








BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA
DAN MASALAH INTEGRASI NASIONAL


Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan  dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal,sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Beberapa karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk sebagaimana yang di kemukakan oleh Van Den Berghe, yakni :
1)      Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan, atau lebih cepat subkebudayaan, yang berbeda satu sama lain;
2)      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga yang bersifat non-komplementer;
3)      Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota msyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar;
4)      Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
5)      Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
6)      Adanya domonasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Menurut model analisis Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus  juga tidak dapat disamakan pula dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai-bagai kelompok, yang biasanya merupakan kelompok-kelompok berdasarkan garis keturanan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Yang di sebut kedua, sebaliknya merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan, akan tetapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Mengikuti  pandangan mereka, suatu sistem sosial senantiasa teringtegrasi di landasan dua hal beerikut. Pertama,suatu masyarakat senatiasa terintegrasi di atas tumbahnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Dari sudut lain, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial ( cross-cutting affiliations ). Dengan demikian setiap konflik yang terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda ( cross-cutting loyalities ) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial.
            Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena tanpa keduanya suatu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik-konflik di antara kesatuan-kesatuan sosial tersebut. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang mungkin terjadi,yakni :
1)      Konflik di dalam tingkatnya yag bersifat ideologis.
2)      Konflik di dalam tingkatnya yang bersifat politis.
Pada tingkatnya yang bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Pada tingaktnya yang bersifat politis, konflik  tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat.
Apa bila konflik adalah potensial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, dan apabila konsensus hanya dapat tumbuh dalam derajat yang terbatas, maka bagaimana mungkin suatu mayarakat majemuk dapat bertahan dalam waktu yang panjang ? pertanyaan tersebut mengundang jawaban dari para penganut pendekatan konflik. Menurut pandangan mereka suatu masyarakat majemuk terintegrasi di atas paksaan (coercion)dari suatu kelompok atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan sosial yang lain.
Pandangan para penganut pendekatan konflik tersebut memperoleh kebenarannya terutama di dalam  konnteks masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, di mana sejumalah amat sedikit orang-orang kulit putih ( melelui kekuatan  militer dan kekuatan politiknya ) menguasai sejumlah amat besar pendapatan nasional.
Apabila kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural,mulai dari Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parsons dan para pengikutnya, maka  faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa kesepakatan para warga Masyarakat Indonesia akan nilainilai umum tertentu. Mengikuti pandangan Parsons, maka kelangsungan hidup masyarakat Idonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang di sepakati bersama oleh sebagian besar oarang-orang Indonesia, akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi.
Mengikuti pemikiran R. William Liddle,konsensus nasional serupa itu, pada hakikatnya, merupakan konsensus nasional pada tingkat pertama di antara dua macam konsensus nasional yang menjadi prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang tangguh. Menurut Liddle,suatu integrasi nasional  yang tanggu hanya dapat berkembang apabila : (1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik di mana mereka menjadi waraganya, dan (2) apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersefakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut.
Sistem nilai, sebagaimana yang di nyatakan oleh Max Weber, merupakan dasar pengesahan (legitimacy) daripada struktur kekuasaan (authority) suatu masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsa harus mewujudkan, pada akhirnya akan merukan konsensus nasional terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa.
Dalam pada itu,konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan unutk sebagian harus kita temukan di dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafa negara, pada tingkat yang sangat umum telah di terima sebagai kesepakatan nasional serta lahir bersamaan dengan kelahiran negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka,beba dari penjajahan bangsa lain.
Lebih daripada itu, Pancasila pada hakikatnya bahkan dapat dipandang sebagai perwujudan daripada nasionalisme itu sendiri. Atau kalau ingin dinyatakan secara lebih terinci, maka kita barangkali boleh menyebutkan sebagai berikut. Pertama, Pancasila,sebagaimana halnya dengan nasionalisme yang tumbuh di kebanyakan negara-negara bekas jajahan, pada hakikatnya, merupakan pernyataan perasaan antikolonialisme. Kedua, Pancasila pada hakikatnya merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia.Ketiga, Pancasila, Pada hakikatnya, merupakan perumusan tekad bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa Indonesia  di atas dasar cita-cita Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan,atau dijabarkan, ke dalam bentuk norma-norma hukum berupa undang-undang dasar 1945 dan berbagai peraturan perundangan-undangan.
Sementara pancasila beserta dengan peraturan perundang-undangan yang di turunkan masih belum sempat sepenuhnya tersosialiasasi ke dalam jiwa sebagian besar para anggota masyarakat Indonesia tidak atau belum akan mencapai tingkatnya tangguh. Di dalam keadaan  yang demikian maka orang masih lebih mudah tersosialisasi ke dalam kesatuan-kesatuan primordial yang telah hidup berabad-abad lamanya, daripada ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nasional. Setiap kesatuan primordil tersebut memiliki sistem nilai yang berbeda-beda, maka orang akan cenderung  menafsirkan berbagai masalah nasional,termasuk penafsiran lebih lanjut daripada Pancasila itu sendiri, dari sudut sistem nilai yang di peluknya, suatu hal yang menyebabkan konflik menjadi fenomena yang bersifat laten di dalam masyarakat Indonesia.
Pada tingkat ideologis,konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk perbedaan-perbedaan pengertian dasar di antara berbagai golongan masyarakat mengenai berbagai macam hal.
Konflik ideologi memang lebih mudah di simak di dalam hubungannya dengan perbedaan-perbedaan agama. Akan tetapi oleh karena perbedaan – perbedaan agama seringkali bertemu juga dengan perbedaan suku-bangsa, maka konflik  yang demikian sedikit banyak terdapat juga di antara berbagai suku-bangsa, apalagi jika di ingat bahwa perbedaan tradisi adat bukan sedikit terjadi di antara berbagai-berbagai suku-bangsa. Dalam keadaan konflik yang terbuka benar-benar telah terjadi,maka sentimen keagamaan seringkali bertemu dengan sentimen kesukuan.
Di dalam lapangan hukum,-yang menurut pandangan para penganut fungsionalisme struktural berfungsi memelihara harmoni sosial dan membatasi timbulnya konflik-konflik,konflik-konflik ideologis tersebut mewujudkan diri di  juga dengandalam bentuk perbedaan-perbedaan konsepsi hukum di antara berbagai golongan di dalam masyarakat. Berbagai tradisi agama, misalnya, telah memberikan tempat bagi timbulnya padangan hukum dan keadilan yang kadang-kadang berbeda satu sama lain.
Pemerintah Hindia-Belanda yang telah memerintah bangsa Indonesia selama tidak kurang dari tiga setengah abad itupun bukan saja tidak pernah mampu meniadakan perbedaan-perbedaan di atas, melainkan malahan telah mempertajam peberdaan-perbedaan tersebut.
Konflik- konflik ideologis di antara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia sebagaimana kita uraikan  di atas,telah menjadi sebab bagi timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mempertumbuhkan aturan permaianan ( rules of the game), di antara mereka di dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Oleh karena itu tidak mengherankan pula apabila konflik-konflik ideologis tersebut tumbuh berdampingan juga dengan timbulnya konflik-konflik yang bersifat politis, yang sebagaimana telah kita sebutkan di muka merupakan pertentangan-pertentangan di dalam pembagian status, kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas danya di dalam masyarakat.
Ada beberapa indikasi yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk menilai intensitas daripada pertentangan-pertentangan politik di dalam suatu masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson, misalnya sangat membantu kita  di dalam  melihat betapa pertentangan-pertantangan politik itu terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Ada beberapa indikator yang di gambarkan untuk intensitas konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat indonesia yaitu :
1.        Demonstrasi (a protes demonstration), yang di maksud dengan demonstrasi di sini adalah sejumlah orang yang dengan  tidak menggunkan kekerasan mengorganisir idri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim,pemerintah,atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau terhadap ideologi, kebijaksanaan, kebijaksanaan yang sedang direncanakan, atau kurangnya keijaksanaan, atau terhadap suatu tindakan atau suatu tindakan yang sedang di rencanakan.
2.        Kerusuhan , suatu istilah yang barangkali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot” sebagaimana yang di gunakan oleh Taylor dan Hudson. Kerusuhan pada dasarnya adalah sama dengan demonstrasi.
3.        Serangan bersenjata (armed attack), yakni suatu tindakan kekerasan yang di lakukakan oleh atau untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan  maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan  dari kelompok lain. Ia di tandai oleh terjadinya pertumpahan darah,pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang.
4.        Berhubungan dan merupakan akibat daripada armed attack, akan tetapi juga berhubungan dengan dan merupakan akibat daari kerusahan dan untuk  sebagian lagi berhubungan dengan dan merupakan demonstrasi. Indikator yang di maksud adalah jumlah kematian sebagai akibat kekerasan politik.`
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat di pakai sebagai indikator  daripada konflik-konflik politik adalah terjadinya perubahan-perubahan di dalam lembaga-lembaga eksekutif. Indikator  ini dapat kita bedakan ke dalam dua macam perubahan eksekutif, yakni pemindahan kekuasaan eksekutuf yang bersifat reguler (reguler executive transfer),dan pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer).
Suatu reguler executive transfer adalah suatu pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur-prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
Pemindahan kekuasaan eksekutif dalam bentuk pergantian kabinet, termasuk resuffle Kabinet memang tidak dengan sendirinya mencerminkan terjadiny konflik-konflik politik di dalam masyarakat. Akan tetapi apabila pemindahan kekuasaan eksekutif atau pergantian kabinet tersebut terjadi demikian seringnya, maka tidak dapat di sangsikan lagi bahwa pemindahan kekuasaan eksekutif atau pergantian kabinet tersebut tentulah berhubungan dengan terjadinya konflik-konflik politik di dalam masyarakat.
Pemindahan eksekutif yang lebih jelas mencerminkan adanya konflik-konflik di dalam masyarakat adalah pemindahan kekuasaan yang bersifat ireguler (irreguler power transfer). Dengan ireguler power transfer, yang di maksudkan adalah suatu peristiwa pemindahan  kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimin atau kelompok  penguasa  yng lain melalui cara-cara yang tidak legal-konvesional atau prosedur-prosedur yang tidak biasa.
            Baik di pandang sebagai indikator – indikator yang berdiri sendiri-sendiri(nominal) maupun sebagai indikator-indikator yang bertingkat (ordinal), keenam indikator tersebut dengan cukup jelas memberikan gambaran kepada kita betapa perjalanan hidup bangsa Indonesia  berjalan merambat melalui  serangkaian koflik-konflik yang cukup serius. Dengan memandang indikator-indikator tersebut sebagai serangkaian kejadian-kejadian yang berurutan menurut derajat konflik yang di gambarkannya, Ivo V. Feierabend dan Rosalind L. Feierabend bahkan sampai pada kesimpulan bahwa Indonesia termasuk di dalam kelompok negara-negara yang paling tidak stabil di antara 84 negara yang mereka pelajari, sebagai akibat terjadinya konflik-konflik politik.
            Di sinilah kita menemukan benarnya pandangan para penganut pendekatan konflik dalam hubungannya dengan proses integrasi masyarakat Indonesia yang sedikit banyak  tumbuh di atas landasan coercion “ kebebasan yang terbatas” seringkali menjadi kalimat sakti yang seringkali di pakai oleh penguasa untuk membatasi timbulnya konflik-konflik.
            Di samping itu masih ada indikator lain yang dapat kita pergunakan untuk menilai sampai seberapa jauh coercion  mengambil peranan di dalam proses integrasi masyarakat yakni apa yang disebut  governmental sanction. Dengan governmental sanction , yang di maksudkan adalah suatu tindakan yang di ambil oleh penguasa untuk menetralisir, menindak, atau meniadakan suatu ancaman terhadap keamanan pemerintah, rezim yang berkuasa, atau negara. Ada tiga governmental sanction dapat kita bedakan satu sama lain yaitu :
1.      Penyensoran
2.      Pembatasan partisipasi politik
3.      Pengawasan

Yang pertama meliputi semua tindakan pemerintah untuk membatasi, mengekang, atau mengancam media massa seperti surat kabar,majalah,buku-buku,radio maupun televisi. Pembatsan partisipasi politik meliputi tindakan-tindakan pemerintah seperti pembuatan undang-undang keadaan bahaya,mobilisasi alat-alat keamanan untuk memelihara keamanan dalam negeri, atau penentuan jam malam. Jenis governmental sanction yang ketiga  meliputi semua tindakan pemerintah di mana seorang atau sejumlah oarang ( warga negara atau orang asing ) di tahan dengan tuduhan kegiatan mata-mata,sabotase, atau campur tangan di dalam masalah-masalah politik dalam negeri yang mengancam keamanan negara.