SISTEM
SOSIAL INDONESIA
DR.NASIKUN
RAJAWALI
PERS
CITRA
NIAGA BUKU PERGURUAN TINGGI
JAKARTA
ISBN
979-421-083-8
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sistem Sosial Indonesia/Nasikun.-
Ed.1-20-Jakarta: Rajawali Pers,2012.
vi.108 hlm.,21 cm.
ISBN. 979-421-083-8
Cetak ke- 20,April 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Tak
terpikir oleh kami betapa berbahayanya bagi anak – anak sebaya kami menyaksikan
sebuah pertempuranyang bakal terjadi itu, seolah – olah kami menyaksikan anak –
anak sedang bermain jethungan saja. Pada waktu itu pikiran kanak – kanak kami masih belum mampu memahami betapa perang
merupakan permainan orang – orang dewasa yang jauh lebih berbahaya daripada
permainan anak – anak yang manapun. Sedikitpun, kami tak ada rasa takut
menyaksikan pertempuran yang segera akan pecah tidak berapa lama lagi. Kami
justru takut sebuah bentakan dan makian yang datang dari arah belakang,ketika
ayah salah seorang di antara kamiberhasil menemukan kami sedang asik
menyaksikan permainan yang sangat berbahaya itu.
Pertempuran tersebut memang tidak
berlangsung terlalu lama,karena pasukan polisi ternyata harus mengundurkan diri
dengan meninggalkan korban.sementara itu kematian anak tersebut segera saja
menjadi bahan pembicaraan teman – teman
sekolah dan penduduk kampung. Ketika kami mengetahui bahwa kematiannya ternyata
terjadi dalam menunaikan tugas sebagai penunjuk jalan yang berani bagi pasukan
polisi.
Hilangnya cerita tentang kematian
anak tersebut dari ingatan penduduk di tanah kelahirannya,maka cerita tentang
akhir pertempuran itupun menjadi tidak penting lagi tuturkan. Cerita tentang
pertempuran itu sendiri hanya di maksudkan untuk menyatakan betapa persoalan
tentang konflik antar kekuatan – kekuatan sosial politik di indonesia yang
mendasari terjadinya pertempuran
tersebut. Ketika usia penulis semakin
bertambah dewasa dan pengetahuan pun
semakin bertamabah. Semakin teranglah di dalam pengertian penulis betapa
pertempuran yang penulis saksikan pada masa kanak – kanak itu sekedar merupakan
cukilan kecildari gambaran yang utuh tentang konflik – konflik yang di alami
oleh bangsa Indonesia. Semakin mengertilah penulis betapa lembaran sejarah
bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi
dengan berbagai pertentangan. Melewati tahun 1945, pertentangan – pertentangan
semacam itu justru terjadi di antara tokoh – tokoh dan kelompok – kelompok sosial politik. Pada hal sebelumnya hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan
bangsa mampu melupakan kepentingan masing – masing untuk saling bahu – membahu
menciptakan kemerdekaan bangsa.
Keadaan yang demikian mengingatkan penulis
pada pernyataan beberapa ahli ilmu kemasyarakatan bangsa asing yang
menganggap semboyan “ Bhineka Tunggal ika” sesungguhnya masih lebih
merupakan suatu cita – cita yang
harus di perjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia dari pada sebagai kenyataan
yang benar – benar hidup di dalam masyarakat. Dalam pada itu, kenyataan bahwa
gagasan – gagasan tentang persatuan nasional
senantiasa muncul setiap kali
bangsa Indonesia sedang di ancam oleh pertentangan – pertentangan
pendapat yang cukup gawat di antara kekuatan – kekuatan sosial politik tertentu, barangkali dapat kita pandang sebagai perwujudan dari pada kenyataan bahwa
Bhineka Tunggal Ika memang masih merupakan cita – cita bangsa Indonesia yang
masih harus terus – menerus diperjuangkan. Kendati banyak orang menganggap
bahwa masalah konflik dan integrasi
nasional yang di alami oleh bangsa Indonesia masih tidak separah yang di hadapi
oleh misalnya Malaysia atau India, kendati berapa di antara mereka menganggap masalah
konflik dan integrasi nasional lebih merupakan masalah yang di hadapi oleh bangsa Indonesia
pada tahun – tahun lima puluhan, namun hal iti sama sekali tidak berarti bahwa masalah konflik dan integrasi nasional
sudah tidak lagi di hadapi oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi,konflik – konflik
sosial di dalam berbagai masyarakat senantiasa memeliki derajat dan polanya
masing – masing. Mengapa ? Karena sumber yang menyebabkannya mempunyai ragam
dan pola yang tidak sama pula. Seperti layak setiap orang enggan membicarakan
kericuhan yang terjadi di dalam keluarganya, maka kita pun sering kalienggan
pula mempersoalkan pertentangan- pertentangan yang terjadi di antara sesama
bangsa indonesia.Secara psikologis kita memiliki kecenderungan untuk
menekan kenyataan – kenyataan tersebut
di dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja oleh karena kita mengira bahwa
dengan demikian kita akan dapat menghindarkan konflik – konflik yang lebih
tajam, melainkan juga oleh karena kita sesungguhnya enggan mengakui kenyataan –
kenyataan tersebut. Konflik di antara sesama kita adalah sesuatu yang menodai
jiwa dan semangat gotong – royongyang kita muliakan itu,sesuatu yang menodai
jiwa dan semangat Bhineka Tungga Ika
yang kita junjung tinggi.
Menyelesaikan konflik – konflik yang
terjadi di antara sesama kita dengan cara yang demikian, adalah laksana
memasukkan api dalam sekam. Sementara
kita terpesona oleh anggapan bahwa konflik yang terjadi di antara kita
telah dapat kita selesaikan dengan jiwa dan semangat gotong – royong yang kita
miliki, semangat Bhineka Tunggal Ika. Sebaliknya,
dengan menyadari akan adanya konflik – konflik sosial yang bersifat laten di
dalam masyarakat, justru memiliki kemungkinanyang lebih besar untuk memahami
faktor – faktor yang menyebabkannya. Sementara
itu dengan pengertian – pengertian yang mendalam tentang sumber – sumber
laten yang menyebabkan timbulnya konflik – konflik sosial di dalam masyarakat ,
kita memilki kemungkinan yang besar pula untuk menyusun suatu kebijaksanaan
yang bersifat fundamental unutk mengelimir sumber – sumber konflik serta
menghindarkan kemungkinan timbulnya konflik – konflik sosial semacam itu di
kemudian hari.
Kendati masalah konflik dan
integrasi telah menjadi pertanyaan amat klasik sejak awal sejarah pertumbuhan teori – teori sosiologi di dalam bentuk pertanyaan tentang “
bagaimana masyarakat itu berintegrasi “,usaha para ahli sosiologi untuk
menjawab pertanyaan tersebut ternyata
telah melahirkan banyak sekali aliran pemikiran, masing-masing dengan sudut
penglihatan yang berbeda- beda. Adanya beraneka – ragam aliran-aliran pemikiran
mengenai bagaimana suatu masyarakat terintegrasi itulah maka suatu sudut pendekatan tertentu perlu
ditetapkan lebih dahulu sebelum suatu
pembahasan tanpa arah terlanjur berkembang.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
Sudut
pendekatan tersebut menggangap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di
atas dasar kata sepakat para anggotanya
akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreements yang
memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara
para anggota masyarakat.
Selanjutnya
di sebut pendekatan fungsional
struktural atau fungsionalisme-struktural. Teori – teori yang mendasarkan diri
pada sudut pendekatan tersebut,biasa di kenal
pula sebagai integration
theories,order theories,equilibrium theories,atau lebih di kenal sebagai
teori – teori fungsional – struktural.
Perlu
kita maklumi bersama, bahwa fungsionalisme struktural mula – mula sekali tumbuh
dari cara melihat masyarakat yang menganalogikan masyarakat dengan organisme
biologis, suatu pendekatan yang seringkali kita kenal sebagai organismic approach. Plato, misalnya
membandingkan tiga kelas sosial : yakni
penguasa, militer,dan kaum pekerja tangan, masing – masing dengan daya pikir, perasaan atau semangat, dan napsu. Cara menganalogikan
masyarakat dengan organisme giologis berkembang subur pada masa sebelum Auguste
Comte memperkenalkan filsafat
positifnya, dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila pendekatan organismik muncul terutama pada awal
pertumbuhan sejarah sosiologi. Perwujudan
yang paling penting dari pendekatan
tersebut tergambar dalam usaha
untuk menerangkan hubungan antara
konsep struktur dan fungsi, yang sudah
uncul di dalam pemikiran Herbert
Spencer, Emile Durkheim, dan yang kemudian mencapai bentuk yang lebih jelas di dalam pemikiran para ahli
antropologi Inggris seperti Bronislow Malinowski dan Red-cliffe-Brown. Pendekatan tersebut pada akhirnya mencapai tingkat
perkembangannyayang sangat berpengaruh di dalam sosiologi Amerika, khususnya di
dalam pemekiran Talcott Parsons. Pendekatan itulah yang sekarang sangat dikenal
sebagai pendekatan fungsionalisme struktural.
Pendekatan
fungsionalisme struktural sebagaimana
yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para pengikutnya, dapat kita kaji
melalui sejumlah anggapan dasar mereka sebagai berikut :
1)
Masyarakat haruslah di lihat sebagai suatu sistem
daripada bagian-bagian yang saling berhubungan
satu sama lain.
2)
Dengan demikian hubungan pengaruh
mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal
balik.
3)
Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan
sempurna,namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis.
4)
Sekalipun disfungsi, ketegangan- ketegangan
, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga,akan tetapi di dalam
jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan
sendirinya melalui penyesuaian – penyesuaian dan proses institusionalis.
5)
Perubahan – perubahan di dalam sistem
sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian – penyesuaian,
dan tidak secara revolusioner.
6)
Pada dasarnya ,perubahan-perubahan
sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam
kemungkinan : penyesuaian-penyesuaian yang di lakukan oleh sistem sosial
tersebut terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar; pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan
fungsional ; serta penemuan – penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat.
7)
Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan
suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai
nilai – nilai kemasyarakatan tertentu.
Yang paling
penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang
kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang
sesungguhnya membentuk struktur sosial.
Proses,adalah
sebagai berikut : karena setiap orang menganut dan mengikuti pengertian –
pengertian yang sama mengenai
situasi-situasi tertentu ( sharing the
same definition of the situation ) dalam bentuk norma-norma sosial, maka
tingka laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa kedalam bentuk suatu
struktur sosial tertentu.
Dua macam
mekanisme sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota
masyarakat dapat di kendalikan pada tingkat dan arah menuju terpeliharanya
kontinuitas sistem sosial,yakni mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial (
sosial control ) setiap situasi sosial senantiasa mengandung di dalam dirinya
dua hal,yakni : tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substratum yang
melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang
melekat bersama-sama di dalam setiap sistem sosial.
Dalam pada itu,
anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial memilki kecendurangan untuk mencapai
stabilitas atau ekuilibrium di atas
konsensus para anggota masyarakat akan
nilai-nilai umum tertentu, mengakibatkan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural kemudian menggangap bahwa
disfungsi, ketengangan-ketengangan, dan penyimpangan-penyimpangan sosial yang
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk
tumbuhnya diferensiasi sosial semakin kompleks,adalah akibat daripada pengaruh
faktor-faktor yang datang dari luar. Anggapan
semacam itu mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut :
1)
Setiap struktur sosial, di dalam dirinya
sendiri mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat
internal,yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya
perubahan-perubahan sosial.
2)
Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap
perubahan-perubahan yang datang dari luar ( extra-systemic
change) tidak selalu bersifat adjustive.
3)
Suatu sistem sosial, di dalam waktu
yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle.
4)
Perubahan – perubahan sosial tidak
selalu terjadi secara gradual melaliu
penyesuaian-penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara
revolusioner.
Suatu
sistem sosial memang seringkali mampu melakukan penyesuaian penyesuaian
terhadap perubahan perubahanyang datang dari luar,dan ole karenanya maampu
mengikuti perubahan perubahan tersebut tanpa mengalami disintegrasi sosial.Akan
tetapi,sebalikny,suatu sistem sosial dapat juga bersikap menolak perubahan
perubahan yang datang dari luar,baik dengan cara tetap memelihara status quo
maupun dengan cara melakukan perubahan perubahan yang bersifat reaksioner.
Sementara
conflic approach masi dapat kita bedakan atas dua macam pendekan yang lebih
kecil,yakni structuralist-Marxist dan structuralist non-Marxist pokok-pokok
pikiran yang akan penulis sajikan berikut ini terutama berpangkal pada
anggapan-anggapan dasardari pendekatan structuralist-Marxis.berbeda dari fungsionalisme
strutural, maka pandangan pendekatan konflik berpakal pada anggapan-anggapan
dasar berikut ini:
1)
Setiap masyarakat senantiasa berbeda
didalam proses perubahan yang tidak perna berakhir,atau dengan perkataan lain,
perubahan sosial merupankangejala yang melekat didalam setiap masyarakat.
2)
Seiap masyaraka mengandung
konflik-konflik di dalam dirinya,atau dengan perkataan lain, konflik adalah
merupankan gejala melekat di dalam setiap masyarakat.
3)
Setiap unsur di dalam suatu masyarakat
memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan
sosial .
4)
Setiap masyarakat terintegrasi di atas
penguasan atau dominan oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain.
Pembagian otoritas yang bersifat
dikotomis serupa itu oleh para penganut pendekatan konflik di anggap menjadi
sumber timbulnya konflik-konflik sosial di dalam masyarakat.mengapa?karna
pembagian otoritas demikian, di dalam dirinya sendiri, menimbulkan
kepentiangan-kepentingan yang berlawanan satu sama yang lain.pembagian otoritas
yang demmikian mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang
otorits dan mereka yang tidak memiliki otoritas memiliki
kepentingan-kepentingan, yang baik secara substansialmaupun arahnya, berlawanan
satu sama lain. Apa yang di maksud dengan kepentiangan oleh para penganut
pendekatan konflik, bukanlah kepentingan dalam artinya yang bersifat”subyektif”
sebagaimana di rasakan oleh orang-orang lain melainkan kepentingan yang secara
“obyektif” melekat di dalam kedudukan
sosial tertentu.
Dengan pengertian yang demikian
itulah maka para penganut pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap
masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang mengalami
kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara bahkan mengukuhkan
status-quodari pola hubungan-hungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan
mereke yang memiliki kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah
atau merombak status- quo dari pola hubungan-hubungan tersebut.karena
kepentingan-kepentingan yang demikian tidak selalu di sadari adanya, maka ia di
sebut sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat laten (latent interest), sementara mereka yang memiliki di sebut sebagai
kelompok semu (quasi-groups) mengingat
kenyataan bahwa pola hubungan-hubungan sosial berkembang di antara para anggotanya terbentuk melalui proses yang
tidak mereka sadari
Sementara itu suatu kelompok semu
tidaklah dengan sendirinya begitu saja
menjelma menjadi kelompok kepentingan. Dahrendorf menyebutkan tiga macam syarat
yang bersifat kondisional yang akan mungkinkan suatu kelompok semu dapat
terorganisir kedalam bentuk kelompok kepentingan.
Prasyarat yang pertama adalah apa
yang ia srbut sebagai kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi ( technical conditions of organization ).Apa
yang maksudkan sebagai kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi tersebut
adalah munculnya sejumlah orang-orang tertenyu yang mampu merumuskan dan
mengorganisir latent interests dari suatu kelompok semu menjadi manifest
interests berupa kebutuhan-kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai orang.
Selain membutukan prasyarat yang
bersifat teknis munculnya suatu kelompok kepntingan masi membutukan prasyarat
yang kedua,yakni apa yang oleh Dahrendorf disebut sbagai kondisi-kondisi
politis dari suatu organisasi ( political
conditions of organization ) Apa yang ia maksudkan dengan kondisi-kondisi
politik yang ada di sini,ialah adanya tidak kebebasan politik untuk
berorganisasi yang di berikan oleh masyarakat.Bagaimana matangnya
kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi,kelompok semu tetap tidak akan
terorganisir kedalam bentuk kelompok kepentingan.
Diluar kondisi-kondisi teknis dan
kondisi-kondisi politis msih di butuhkan prasyarat lain agara adanya para
pemimpin,idiologi,dan kebebesan berorganisasi benar-benar mengakibatkan
munculnya kelompk kepentingan. Prasyarat yang ketiga ini oleh Dahrendorf
disebut sebagai kondisi-kondisi sosial
bagi suatu organisasi ( social condition
of organization), yakni adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para
anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah.
Ketiga kondisi tersebut, yakni : kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi
politis, kondisi-kondisi sosial,secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi
munculnya kelompok kepentingan, yang
sebagaimana telah di sebutkan di muka selalu berada di dalam situasi
konflik. Selaku demikian,ketiganya hendaknya di pandang di dalam
hubungannyadengan suatu proses yang bersifat dinamis. kondisi-kondisi teknis, kondisi-kondisi
politis, kondisi-kondisi sosial tersebut tidak saja menjadi prasyarat bagi munculnya kelompok kepentingan, akan
tetapi lebih lanjut juga mempengaruhui
derajat ekfektivitas.
Dari situlah asal mulanya mengapa para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan
menganggap baha konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa
melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan oleh karenanya tidak mungkin
di lenyapkan. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat , ia hanya akan lenyap bersama
lenyapnya masyarakat itu sendiri.
Bentuk pengedalian konflik-konflik
sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang di sebut konsiliasi
(conciliation). Pengendalian semacam
itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuh pola
diskusi dan pengambilan keputusan – keputusan di antara pihak yang berlawanan
mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
Dalam pada itu, agar lembaga-
lembaga tersebut dapat berfungsi secara efektif, lembaga – lembaga yang di yang
di maksudharus memenuhi sedikitnya empat hal berikut :
1) Lembaga
– lembaga tersebut harus merupakan lembaga-lembaga yang bersifa totonom dengan
wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan tanpa campur tangan dari badan-
badan lain yang ada di luarnya.
2) Kedudukan
lembaga-lembaga tersebut di dala masyrakat yang bersangkutan harus bersifat
monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian.
3) Peranan lembaga-lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga
berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan satu sama lain itu merasa terikat
kepada lembaga-lembaga tersebut, sementara keputusan-keputusan mengikat
kelompok-kelompok tersebut beserta dengan para anggotanya.
4) Lembaga-lembaga
tersebut harus bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus di dengarkan dan
di beri kesempatan unutk menyatakan pendapat-pendapatnya sebelum
keputusan-keputusan tertentu di ambil.
Tanpa hadirnya keempat hal tersebut,maka
konflikkonflik yang terjadi di antara berbagai kekuatansosial akan menyelinap
ke bawah permukaan, yang pada saatnya tanpa dapat di dugasebelumnya akan
meledak ke dalam bentuk kekerasan. Namun demeikian,semuanya itu hanya mungkin
deselenggarakan apabila kelompok-kelompok yang saling bertentangan itu sendiri
mampu memenuhi tiga macam persyaratan sebagai berikut :
1. Masing-masing
kelompk yang terlihat di dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi
konflik di antara mereka, karena itu menyadari pula perlunya dilaksanakan
prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
2. Pengendalian
konflik-konflik tersebut hanya mungkin di lakukan apabila berbagai kekuatan
sosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3. Setiap
kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan
tertentu, suatu hal yang akan memungkinkan hubungan-hubungan sosial di antara
mereka menemukan suatu pola tertentu.
Dalam
keadaan yang demikian,maka suatu cara pengendalian yang lain di butuhkan apabila
kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki kemungkinan timbulnya
ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Cara pengendalian yang demikian
berupa apa di sebut mediasi ( mediation ),
yakni kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan
memberikan “nasihat-nasihat”-nya tentang bagaimana mereka sebaliknya
menyelesaikan pertentangan mereka. Sekalipun nasihat-nasihat pihak ketiga
tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang
terlibat di dalam konflik, namun cara pengendalian ini kadang-kadang
mengahsilkan penyelesaikan yang cukup
efektif pula oleh karena cara ini memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk
mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di dalam setiap konflik, memungkinkan pihak-pihak yang
bertentangan menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan yang di keluarkan untuk
membiayai pertentangan dan lain
sebagainya.
Ketiga jenis pengendalian
konflik tersebut di atas, baik dipandang
sebagai cara-cara pengendalian konflik
yang bertingkat-tingkat maupun di pandang sebgai cara-cara yang berdiri
sendiri-sendiri, memeliki daya kemampuan unutk mengurangi atau menghindarkan kemungkinan-kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan
sosial dalam bentuk kekerasan.
BAB
III
STRUKTUR MAJEMUK
MASYARAKAT
INDONESIA
Pandangan para
penganut pendekatan konflik tersebut
bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, akan tetapi jelas bawah pandangan
tersebut menutup kelemahan-kelemahan yang kita jumpai pada pandangan para penganut pendekatan fungsionalisme struktural. Oleh karena itu,
mensintesiskan keduanya untuk
menganalisis bagaiman suatu sistem sosial bekerja,merupakan tindakan yang lebih menguntungkan daripada
menggunakan salah satu di antaranya secara tersendiri. Pertimbangan
menyintesiskan kedua macam pendekatan tersebut untuk sebagian tentu saja di
anjurkan pula oleh van den berghe ketika ia menyatakan bahwa suatu sintesis pendekatan fungsionalisme struktural dan
pendekatan konflik dapat di lakukan mengingat bahwa keduanya mengandung
kesamaan-kesamaan tertentu. Kebutuhan unutuk mensintesiskan keduanya menjadi
lebih penting lagi artinya apabila kita dihadapkan pada keharusan unutk
menganalisis masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh
dua cirinya yang bersifat unik. Yang pertama
secara horisontal,ia di tandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama,adat. Yang kedua secara vertikal,struktur
masyarakat Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bahwa yang cukup tajam.
Perbedaan – perbedaan
suku-bangsa,agama,adat dan kedaerahan du sebut sebagai ciri masyarakat yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula sekali di perkenalkan oleh
furnivall untuk menggambarkan masyarkata Indonesia pada masa Hindia-Belanda.
Masyarakat Indonesia pada masa Hindia-belanda,demikian
menurut Furnivall,merupakan suatu masyarakat majemuk ( plural societies), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua
atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain
di dalam suatu kesatuan politik. Sebagai masyarakat
majemuk, masyarakat Indonesia disebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah
Tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang di kuasai memeliki
perbedaan ras.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak
bersama( Common Will ).Di dalam
kehidupan ekonomi,tidak adanya kehendak bersama tersebut menemukan
pernyataannya di dalam bentuk tidak adanya permintaan
sosial yang di hayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat ( common social demand ).Setiap masyarakat
politik ,demikian menurut Furnivall,dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat. Kebutuhan – kebutuhan
keagamaan,politik dan keind
Han,pendek kata semua
kebutuhan kultural,memiliki aspek ekonomi oleh karena semuanya pada akhirnya
menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan-kebutuhan
ekonomi,yakni sebagai permintaan atau demand masyarakat secara keseluran.
Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, seperti halnya dengan
masyarakat Indonesia pada masa
Hindia-Belanda, permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir,melainkan
bersifat seksional (sectional), dan
tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen
masyarakat.
Di dalam setiap masyarakat memang selalu terdapat konflik kepentingan antara kota dan
desa,antara kaum modal dan kaum buruh,akan tetapi lebih-lebih di daam
masyarakat majemuk maka konflik kepentingan tersebut menemukan sifatnya yang
lebih tajam oleh karena perbedaan kepentingan ekonomi jatuh bersamaan dengan
perbedaan ras.
Suatu masyarakat majemuk,demikianlah apa ayang dapat kita
simpulkan dari konsepsi Furnivall,yakni suatu
masyarakat di mana sistem nilai yang di anut oleh berbagai kesatuan
sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para
anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarkat sebagai
keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki
dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat, adalah bersifat majemuk sejauh
masyarakat tersebut secara struktural
memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat
diverse. Masyarakat yang
demikian di tandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsesus yang di
sepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi
bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar
dalam bentuk yag relatif murni.
Hanya saja perlu kita sadari,bahwa berbeda adari furnivall
yang mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia di dalam konteks masyarakat
kolonial yang menbedakan golongan-golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan
pribumi, maka kemerdekaan harus dimengerti di dalam konteks perbedaan-perbedaan
internal di antara golongan Pribumi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas
masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan/geografis yang membagi
wilayah Indonesia atas kurang lebih 3.000 pulau yang terserak di suatu daerah
ekuator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari timur ke barat dan lebih 1.000
mil utara ke selatan,merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap terciptanya pluralitas suku
bangsa di Indonesia. Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini
mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang
sekarang kita kenal sebagai daerah tiongkok selatan pada kira-kira 2.000 tahun
sebelum masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus
tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis
yang demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap
pulau atau sebagian dari suatu pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan
suku-bangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan suku-bangsa yang lain.
Tiap kesatuan suku-bangsa terdiri dari sejumlah orang yang di persatukan oleh
ikatan-ikatan emosional, serta memandang
diri mereka masing-masing sebgai suatu jenis tersendiri. Dengan
perkecualihan yang sangat kecil,mereka pada
umumnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih daripada
itu,mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul
keturunan yang sama,suatu kepercayaan yang seringkali di dukung oleh
mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.
Faktor yang kedua,yakni kenyataan bahwa Indoneisa terletak
di antara samudra Indonesia dan Samudera Pasific,sangat mempengaruhi
terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena
letaknya yang berada di tengah-tengah lalu-lintas perdagangan laut melalui
kedua samudra tersebut, maka masyarakat
Indonesia telah sejak lama sekali memperoleh berbagai pengaruh
kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat
Indonesia berupa pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun
sesudah masehi. Hinduisme dan Budhaisme
pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia,serta
lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli
yang telah hidup lebih dahulu sebelum itu.
Hasil final daripada semua pengaruh kebudayaan tersebut
kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di
luar jawa,hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan islam modernis terutama
di daerah-daerah yang strategis berada di jalur perdagangan internasional pada
waktu masuknya reformasi agama islam,golongan islam konservative-tradisionalist
di daerah-daerah pedalaman,dan golongan kristen ( Katolik Dan Protestan ) di
daerah-daerah Maluku,Nusa Tenggara Timur,Sulawesi Utara,Tapanuli, dan daerah
Kalimantan Tengah,serta golongan Hindu Bali ( Hindu Darma ) terutama di pulau
Bali,di pulau jawa,kita jumpai golongan Islam modernis terutama di
daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa timur dengan kebudayaan
pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat;golongan Islam
konservative-tradisionalis di daerah-daerah pedalam Jawa Tengah dan Jawa Timur,
dan golongan Islam nominal yang biasa disebut juga sebagai golongan
”abangan”terutama di daerah-daerah Jawa Timur,serta golongan minoritas Kristen
yang tersebar hampir di setiap daerah perkotaan di jawa.
Pemerintahan Hindia-Belanda yang berlangsung tidak kurang
dari 350 tahun itu bukannya meniadakan kontras antara Jawa dan luar
jawa,melainkan membiarkannya demikian. Sebagaimana kita ketahui bersama, maka
sejak abad ke-18 tekanan perdagangan Belanda berpindah dari daerah Maluku ke
pulau Jawa. Sejak saat itu pengawasasn pemerintah Hindia-Belanda Terhadap
daerah-daerah di luar Jawa menjadi lebih bersifat tidak langsung.
Perbedaan-perbedaan suku-bangsa,agama,dan regional yang
telah diuraikan di atas merupakan dimensi-dimensi horinsantal daripada struktur
masyarakat Indonesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat
indonesia yang menjadi semakin penting artinya dari waktu ke aktu,dapat kita
saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya
polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan. Semakin meluasnya
pertumbuhan sektor ekonomi modern besera organisasi administrasi nasional yang
mengikutinya, maka kontras pelapisan sosial antara sejumlah besar orang-orang
yang secara ekonomis dan politis berposisi lemah pada lapisan bawah, dan
sejumlah kecil orang-orang yang relatif kaya dan berkuasa pada lapisan
atas menjadi semakin mengeras. Proses tumbuhnya ketimpangan yang
demikian mempunyai akarnya di dalam struktur ekonomi Indonesia pada zaman
Hindia-Belanda,yang oleh Boeke di gambar sebagai dual economy.
Di dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sektor
ekonomi yang sangat berbedah sekali
wataknya berhadapan satu sama lain. Sektor
yang pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih
bersifat canggih ( sophisticated ),
banyak bersentuhan dengan lau-lintas perdagangan internasional, dibimbing oleh motif-motif
memperoleh keuntungan yang maksimal, dan di dalam konteks masyarakat kolonial
hampir sepenuhnya di kuasai oleh orang-orang asing atau keturunan orang-orang
asing, termasuk golongan penduduk tionghoa,yang terutama berasal dari
daerah-daerah metropolitan di mana pusat kekuasaan pemerintahan dan kegiatan ekonomi berada.Sektor yang kedua berupa struktur
ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional,yang menurut teori ekonomi modern
merupakan struktur ekonomi yang berorientasi kepada sikap-sikap konservatif,
dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem
yang sudah ada, tidak berminat pada usaha-usaha untuk memperoleh keuntungan dan
penggunaan sumber-sumber secara maksimal, lebih berorientasi pada
motif-motif untuk memenuhi kepuasan dan
kepentingan- kepentingan sosial daripada menanggapi rangsangan-rangsangan dari
kekuatan – kekautan intenasional, serta kurang mampu mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara
dinamis.
Perbedaan antara kedua sektor tersebut secara integral
berakar di dalam keseluruhan struktur masyarakat Indonesia yang mengandung
perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat pedesaan yang bersifat modern.
Gambaran berikut hanya melukiskan pola stratifikasi sosial
berdasarkan ukuran luasnya pemilikan tanah di daerah –daerah Jawa Barat,Jawa
Tengah,Jawa Timur,Sulawesi dan Nusa Tenggara, namun barangkali telah cukup
menunjukkan kepada kita sampai seberapa jauh polarisasi sosial di dalam
masyarakat Indonesia telah berkembang.
Lebih daripada itu, Pancasila pada hakikatnya bahkan
dapat di pandang sebagai perwujudan daripada nasionalisme itu sendiri. Atau
kalau ingin dinyatakan secara lebih rinci, maka kita barangkali boleh
menyebutkan sebgai berikut. Pertama,Pancasila,
sebagaimana halnya dengan nasionalisme yang tumbuh di kebanyakan negara-negara
bekas jajahan, pada hakikatnya, merupakan pernyataan perasaan antikolonialisme. Kedua,Pancasila pada hakikatnya
merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk
mempersamakan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada
pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia. Ketiga, Pancasila, pada hakikatnya,merupakan perumusan tekad
bersama bangsa Indonesia di atas dasar cita-cita Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di
pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut
kemudian diturunkan, atau dijabarkan, ke dalam bentuk norma-norma hukum
berundang-undang.
BAB IV
STRUKTUR
KEPARTAIAN SEBAGAI
PERWUJUDAN
STRUKTUR SOSIAL
MASYARAKAT
INDONESIA
Perbedaan-perbedaan
suku-bangsa, agama, regional,dan pelapisan sosial tersebut secara analitis
memang dapat di bicarakan sendiri-sendiri,akan tetapi di dalam kenyataan
semuanya jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi
dasar bagi terjadinya pengelompokan maryarakat Indonesia. Jalinan tersebut
telah mengahsilkan terjadinya
berbagai-bagai “ kelompok semu “ yang di dalam konteks pengertian populer dapat
kita sebut sebagai “ golongan “ yang akan
menjadi sumber di mana anggota-anggota” kelompok kepentingan”terutama
direkrut.
Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa itu membawa
akibat yang luas dan mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di
dalam masyrakat Indonesia, di dalam hubungan-hubungan politik, ekonomi,
hukum,kekeluargaan dan sbagainya.
Salah satunkelompok kepentingan yang sangat khusus
sifatnya adalah apa yang kita kenal sebagai partai politik. Pada awalnya
pertumbuhannya di Indonesia,kelompok-kelompok kepentingan semacam itu mula-mula
lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial
kultural daripada bersifat politis. Baru di kemudian hari maka
kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi
yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam bentuknya sebagai partai
politik. Di dalam hal ini ,hanya beberapa partai politik saja yang di sebutkan
unutk sekedarn menggambarkan bagaimana sistem kepartaian di Indonesia memiliki
dasarnya di dalam watak yang dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
Pertama kali adalah partai Masyumi, yang menurut hasil
pemilihan umum tahun 1955 merupakan partai paling besar sesudah PNI ( Partai
Nasional Indonesia ), dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling
besar nomor tiga sesudah Masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut
melampaui serangkain proses kristalisasi yang cukup panjang. Pada tahun 1943,
atas praarsa pemerintah penjajahan jepang,beberapa organisasi keagamaan
termasuk Muhammadiyah Nahdatul Ulama bergabung ke dalam suatu organisasi massa dengan nama “Masyumi”
( Majelis Syuro Muslimin indonesia ). Pada permulaan revolusi, organisasi massa tersebut
mengubah dirinya menjadi suatu partai
politik yang berdri di atas landasan organiasasi-organisasi keagamaan dengan
Muhammadiyah dan Naddatul ulama sebagai dua di antara anggota-anggotanya yang
paling besar.
Sekalipun pusat
organisasi Muhammadiyah berada di Jawa, namun basis pendukungnya terutama
berasal dari Sumatera, Sulawesi Selatan,Jawa barat, dan daerah- daerah
sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang di kenal bersifat
kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang, yang terbentuk dalam waktu
berabad-abad lamanya melalui kontak kebuyaan dan perdagangan. Masyumi sendiri
sangat mengarapkan dukungan dari banyak umat islam di daerah-daerah pedesaan,
justru dari kegiatan para pemimpin
Nahdatul Ulama. Barangkali oleh karena menyadari hal inilah, maka lemahnya
kedudukan para pemimpin Nahdatul Ulama di dalam proses pengambilan keputusan-keputusan
partai telah mengakibatkan hubungan mereka dengan para pemimpin Muhammadiyah
senantiasa mengalami ketengangan-ketengangan.
Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat
penting di dalam kehidupan politik di Indonesia pada masa-masa yang silam
adalah PNI ( Partai Nasional Indonesia ), yang menurut hasil Pemilihan Umum
tahun 1955 merupakan partai yang paling besar. Sejak awal kelahirannya pada
tahun 1927, PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, yang
sebagaimana telah kita uraikan di muka kebanyakan berasal dari golongan elit
tradisional jawa yang berpendidikan.
Dalam pada itu setiap pembicaraan mengenai pola
kepartaian di Indonesia tidak mungkin mengabaikan sebuah partai yang menurut
hasil pemilihan Umum tahun 1955 merupakan partai terbesar nomor empat sesudah
Nahdatul Ulama, yakni Partai Komunis Indonesia ( PKI ). Seperti halnya PNI,maka
PKI memperoleh Dukungan sangat kuat terutama dari golongan Islam Non-Santri di
daerah-daerah jawa Tengah dan Jawa Timur. Lebih daripada PNI, maka PKI memiliki
basis massanya terutama di dalam lapisan bawah masyarakat desa di kedua daerah
tersebut.
Melihat struktur politik yang demikian, kita menjadi
lebih mengerti betapa konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia
pada masa-masa yang silam, untuk sebagian, pada dasarnya merupakan konflik
antara kelompok-kelompok sosial-kultural berdasarkan perbedaan-perbedaan
suku-bangsa,agama,daerah, dan stratifikasi sosial.
Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan
timbulnya berbagai cara melihat pola kepartaian dan perilaku politik yang di
wujudkan oleh berbagai partai politik di Indonesia Herbekrt Feith, misalnya,
melihat konflik- konflik politik di
indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di dalam
ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional ( tradisi
Hindu-Jawa dan islam ) di satu pihak, dengan
pandangan dunia modern ( khususnya pandangan dunia barat ) di lain
pihak. Perwujudannya dinyatakan oleh konflik ideologis di antara lima buah
aliran pemikiran politik, yakni : Nasionalisme radikal, Tradisionalisme Jawa,
Islam sosialisme Demokrat, dan Komonisme. Donald Hindley, semetara itu, melihat
keragaman pola kepartaian di Indonesia bersumber di dalam dua macam
penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang menyilang, yakni :
penggolongan yang bersifat keagamaan di satu pihak, dan penggolangan atas
penganut pandangan dunia tradisional dan penganut pandangan dunia modrn di lain
pihak. Kendati begitu baik Herbert feith maupun Donald Hindley melihat juga
bagaimana perbedaan-perbedaan suku-bangsa,agama, daerah, dan stratifikasi
sosial ikut serta memberikan model penglihatan mereka masing-masing. Berhasil
tidaknya fusi partai-partai politik itu sendiri, yang sebagaimana kita ketahui
terutama terjadi atas prakarsa pemerintah, justru akan sangat tergantung
pada seberapa jauh perubahan-perubahan
sosail-kultural yang mendasari pola kepartaian di Indonesia itu akan terjadi
pada masa-masa yang akan datang.
STRUKTUR
MASYARAKAT INDONESIA
DAN MASALAH
INTEGRASI NASIONAL
Pluralitas
masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang
bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal,sementara
stratifikasi sosial sebagaimana yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan
memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Beberapa
karakteristik yang dapat kita kenali sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat
majemuk sebagaimana yang di kemukakan oleh Van Den Berghe, yakni :
1) Terjadi
segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki
kebudayaan, atau lebih cepat subkebudayaan, yang berbeda satu sama lain;
2) Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga yang bersifat
non-komplementer;
3) Kurang
mengembangkan konsensus di antara para anggota msyarakat tentang nilai-nilai
sosial yang bersifat dasar;
4) Secara
relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain;
5)
Secara relatif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan
saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
6)
Adanya domonasi politik oleh suatu
kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Menurut model analisis
Emile Durkheim. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan
masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan
tetapi sekaligus juga tidak dapat
disamakan pula dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi
yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi
ke dalam berbagai-bagai kelompok, yang biasanya merupakan kelompok-kelompok
berdasarkan garis keturanan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan
yang bersifat homogeneous. Yang di
sebut kedua, sebaliknya merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi
fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan, akan
tetapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain.
Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem
sosial senantiasa teringtegrasi di landasan dua hal beerikut. Pertama,suatu
masyarakat senatiasa terintegrasi di atas tumbahnya konsensus di antara
sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang
bersifat fundamental. Dari sudut lain, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi
juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari
berbagai kesatuan sosial ( cross-cutting
affiliations ). Dengan demikian setiap konflik yang terjadi di antara suatu
kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan
dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (
cross-cutting loyalities ) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai
kesatuan sosial.
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula
terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, karena
tanpa keduanya suatu masyarakat bagaimanapun tidak mungkin terjadi. Segmentasi
dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam oleh
ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain,
mudah sekali menimbulkan konflik-konflik di antara kesatuan-kesatuan sosial
tersebut. Dalam hal ini sedikitnya ada dua macam tingkatan konflik yang mungkin
terjadi,yakni :
1)
Konflik di dalam tingkatnya yag bersifat
ideologis.
2)
Konflik di dalam tingkatnya yang
bersifat politis.
Pada
tingkatnya yang bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam bentuk
konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai
kesatuan sosial. Pada tingaktnya yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di
dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas
adanya di dalam masyarakat.
Apa
bila konflik adalah potensial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, dan
apabila konsensus hanya dapat tumbuh dalam derajat yang terbatas, maka
bagaimana mungkin suatu mayarakat majemuk dapat bertahan dalam waktu yang
panjang ? pertanyaan tersebut mengundang jawaban dari para penganut pendekatan
konflik. Menurut pandangan mereka suatu masyarakat majemuk terintegrasi di atas
paksaan (coercion)dari suatu kelompok
atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan
sosial yang lain.
Pandangan
para penganut pendekatan konflik tersebut memperoleh kebenarannya terutama di
dalam konnteks masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan, di mana sejumalah amat sedikit orang-orang kulit putih (
melelui kekuatan militer dan kekuatan
politiknya ) menguasai sejumlah amat besar pendapatan nasional.
Apabila
kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme
struktural,mulai dari Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott
Parsons dan para pengikutnya, maka
faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa kesepakatan
para warga Masyarakat Indonesia akan nilainilai umum tertentu. Mengikuti
pandangan Parsons, maka kelangsungan hidup masyarakat Idonesia tidak saja
menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang di sepakati bersama oleh
sebagian besar oarang-orang Indonesia, akan tetapi lebih daripada itu
nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses
sosialisasi.
Mengikuti
pemikiran R. William Liddle,konsensus nasional serupa itu, pada hakikatnya,
merupakan konsensus nasional pada tingkat pertama di antara dua macam konsensus
nasional yang menjadi prasyarat bagi tumbuhnya suatu integrasi nasional yang
tangguh. Menurut Liddle,suatu integrasi nasional yang tanggu hanya dapat berkembang apabila :
(1) sebagian besar anggota suatu masyarakat bangsa bersepakat tentang
batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik di mana
mereka menjadi waraganya, dan (2) apabila sebagian besar anggota masyarakat
tersebut bersefakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses
politik berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut.
Sistem
nilai, sebagaimana yang di nyatakan oleh Max Weber, merupakan dasar pengesahan
(legitimacy) daripada struktur
kekuasaan (authority) suatu
masyarakat, maka konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama
sebagai bangsa harus mewujudkan, pada akhirnya akan merukan konsensus nasional
terhadap suatu rezim tertentu yang sedang berkuasa.
Dalam
pada itu,konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus
diwujudkan atau diselenggarakan unutk sebagian harus kita temukan di dalam
proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafa negara, pada tingkat yang
sangat umum telah di terima sebagai kesepakatan nasional serta lahir bersamaan
dengan kelahiran negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka,beba dari
penjajahan bangsa lain.
Lebih
daripada itu, Pancasila pada hakikatnya bahkan dapat dipandang sebagai
perwujudan daripada nasionalisme itu sendiri. Atau kalau ingin dinyatakan
secara lebih terinci, maka kita barangkali boleh menyebutkan sebagai berikut. Pertama, Pancasila,sebagaimana halnya
dengan nasionalisme yang tumbuh di kebanyakan negara-negara bekas jajahan, pada
hakikatnya, merupakan pernyataan perasaan antikolonialisme. Kedua, Pancasila pada hakikatnya
merupakan pernyataan bersama dari berbagai komponen masyarakat Indonesia untuk
mempersemaikan toleransi dan akomodasi timbal balik yang bersumber pada
pengakuan akan kebhinekaan masyarakat Indonesia.Ketiga, Pancasila, Pada hakikatnya, merupakan perumusan tekad
bersama bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan bersama bangsa
Indonesia di atas dasar cita-cita
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,Persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam
Permusyarawatan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Rakyat
Indonesia. Prinsip-prinsip Pancasila tersebut kemudian diturunkan,atau
dijabarkan, ke dalam bentuk norma-norma hukum berupa undang-undang dasar 1945
dan berbagai peraturan perundangan-undangan.
Sementara
pancasila beserta dengan peraturan perundang-undangan yang di turunkan masih
belum sempat sepenuhnya tersosialiasasi ke dalam jiwa sebagian besar para
anggota masyarakat Indonesia tidak atau belum akan mencapai tingkatnya tangguh.
Di dalam keadaan yang demikian maka
orang masih lebih mudah tersosialisasi ke dalam kesatuan-kesatuan primordial
yang telah hidup berabad-abad lamanya, daripada ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat nasional. Setiap kesatuan primordil tersebut memiliki sistem nilai
yang berbeda-beda, maka orang akan cenderung
menafsirkan berbagai masalah nasional,termasuk penafsiran lebih lanjut
daripada Pancasila itu sendiri, dari sudut sistem nilai yang di peluknya, suatu
hal yang menyebabkan konflik menjadi fenomena yang bersifat laten di dalam
masyarakat Indonesia.
Pada
tingkat ideologis,konflik-konflik tersebut dapat kita simak dalam bentuk
perbedaan-perbedaan pengertian dasar di antara berbagai golongan masyarakat
mengenai berbagai macam hal.
Konflik
ideologi memang lebih mudah di simak di dalam hubungannya dengan
perbedaan-perbedaan agama. Akan tetapi oleh karena perbedaan – perbedaan agama
seringkali bertemu juga dengan perbedaan suku-bangsa, maka konflik yang demikian sedikit banyak terdapat juga di
antara berbagai suku-bangsa, apalagi jika di ingat bahwa perbedaan tradisi adat
bukan sedikit terjadi di antara berbagai-berbagai suku-bangsa. Dalam keadaan konflik
yang terbuka benar-benar telah terjadi,maka sentimen keagamaan seringkali
bertemu dengan sentimen kesukuan.
Di
dalam lapangan hukum,-yang menurut pandangan para penganut fungsionalisme
struktural berfungsi memelihara harmoni sosial dan membatasi timbulnya konflik-konflik,konflik-konflik
ideologis tersebut mewujudkan diri di juga dengandalam bentuk perbedaan-perbedaan
konsepsi hukum di antara berbagai golongan di dalam masyarakat. Berbagai
tradisi agama, misalnya, telah memberikan tempat bagi timbulnya padangan hukum
dan keadilan yang kadang-kadang berbeda satu sama lain.
Pemerintah
Hindia-Belanda yang telah memerintah bangsa Indonesia selama tidak kurang dari
tiga setengah abad itupun bukan saja tidak pernah mampu meniadakan
perbedaan-perbedaan di atas, melainkan malahan telah mempertajam
peberdaan-perbedaan tersebut.
Konflik-
konflik ideologis di antara berbagai golongan di dalam masyarakat Indonesia
sebagaimana kita uraikan di atas,telah
menjadi sebab bagi timbulnya kesulitan-kesulitan untuk mempertumbuhkan aturan
permaianan ( rules of the game), di antara mereka di dalam hubungan-hubungan
kekuasaan. Oleh karena itu tidak mengherankan pula apabila konflik-konflik
ideologis tersebut tumbuh berdampingan juga dengan timbulnya konflik-konflik
yang bersifat politis, yang sebagaimana telah kita sebutkan di muka merupakan
pertentangan-pertentangan di dalam pembagian status, kekuasaan dan
sumber-sumber ekonomi yang terbatas danya di dalam masyarakat.
Ada
beberapa indikasi yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk
menilai intensitas daripada pertentangan-pertentangan politik di dalam suatu
masyarakat. Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson, misalnya sangat
membantu kita di dalam melihat betapa pertentangan-pertantangan
politik itu terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Ada beberapa indikator yang
di gambarkan untuk intensitas konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat
indonesia yaitu :
1.
Demonstrasi (a protes demonstration), yang di maksud dengan demonstrasi di sini
adalah sejumlah orang yang dengan tidak
menggunkan kekerasan mengorganisir idri untuk melakukan protes terhadap suatu
rezim,pemerintah,atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau
terhadap ideologi, kebijaksanaan, kebijaksanaan yang sedang direncanakan, atau
kurangnya keijaksanaan, atau terhadap suatu tindakan atau suatu tindakan yang
sedang di rencanakan.
2.
Kerusuhan , suatu istilah yang
barangkali tidak terlalu tepat untuk menggantikan istilah “riot” sebagaimana
yang di gunakan oleh Taylor dan Hudson. Kerusuhan pada dasarnya adalah sama
dengan demonstrasi.
3.
Serangan bersenjata (armed attack), yakni suatu tindakan
kekerasan yang di lakukakan oleh atau untuk kepentingan suatu kelompok tertentu
dengan maksud melemahkan atau bahkan
menghancurkan kekuasaan dari kelompok
lain. Ia di tandai oleh terjadinya pertumpahan darah,pergulatan fisik, atau
pengrusakan barang-barang.
4.
Berhubungan dan merupakan akibat
daripada armed attack, akan tetapi
juga berhubungan dengan dan merupakan akibat daari kerusahan dan untuk sebagian lagi berhubungan dengan dan
merupakan demonstrasi. Indikator yang di maksud adalah jumlah kematian sebagai
akibat kekerasan politik.`
Salah
satu perubahan politik yang paling penting yang dapat di pakai sebagai
indikator daripada konflik-konflik
politik adalah terjadinya perubahan-perubahan di dalam lembaga-lembaga
eksekutif. Indikator ini dapat kita
bedakan ke dalam dua macam perubahan eksekutif, yakni pemindahan kekuasaan eksekutuf yang bersifat reguler (reguler executive
transfer),dan pemindahan kekuasaan
eksekutif yang bersifat ireguler (irregular power transfer).
Suatu
reguler executive transfer adalah suatu pemindahan kekuasaan eksekutif pada
tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin
atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat
legal-konvensional atau melalui prosedur-prosedur yang sudah menjadi kebiasaan,
tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
Pemindahan
kekuasaan eksekutif dalam bentuk pergantian kabinet, termasuk resuffle Kabinet
memang tidak dengan sendirinya mencerminkan terjadiny konflik-konflik politik
di dalam masyarakat. Akan tetapi apabila pemindahan kekuasaan eksekutif atau
pergantian kabinet tersebut terjadi demikian seringnya, maka tidak dapat di
sangsikan lagi bahwa pemindahan kekuasaan eksekutif atau pergantian kabinet
tersebut tentulah berhubungan dengan terjadinya konflik-konflik politik di
dalam masyarakat.
Pemindahan
eksekutif yang lebih jelas mencerminkan adanya konflik-konflik di dalam
masyarakat adalah pemindahan kekuasaan yang bersifat ireguler (irreguler power transfer). Dengan
ireguler power transfer, yang di maksudkan adalah suatu peristiwa
pemindahan kekuasaan eksekutif pada
tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimin atau
kelompok penguasa yng lain melalui cara-cara yang tidak
legal-konvesional atau prosedur-prosedur yang tidak biasa.
Baik di pandang sebagai indikator – indikator yang
berdiri sendiri-sendiri(nominal) maupun sebagai indikator-indikator yang
bertingkat (ordinal), keenam indikator tersebut dengan cukup jelas memberikan
gambaran kepada kita betapa perjalanan hidup bangsa Indonesia berjalan merambat melalui serangkaian koflik-konflik yang cukup serius.
Dengan memandang indikator-indikator tersebut sebagai serangkaian
kejadian-kejadian yang berurutan menurut derajat konflik yang di gambarkannya,
Ivo V. Feierabend dan Rosalind L. Feierabend bahkan sampai pada kesimpulan
bahwa Indonesia termasuk di dalam kelompok negara-negara yang paling tidak
stabil di antara 84 negara yang mereka pelajari, sebagai akibat terjadinya
konflik-konflik politik.
Di sinilah kita menemukan benarnya pandangan para
penganut pendekatan konflik dalam hubungannya dengan proses integrasi
masyarakat Indonesia yang sedikit banyak
tumbuh di atas landasan coercion “
kebebasan yang terbatas” seringkali menjadi kalimat sakti yang seringkali di
pakai oleh penguasa untuk membatasi timbulnya konflik-konflik.
Di samping itu masih ada indikator lain yang dapat kita
pergunakan untuk menilai sampai seberapa jauh coercion mengambil peranan
di dalam proses integrasi masyarakat yakni apa yang disebut governmental
sanction. Dengan governmental sanction , yang di maksudkan adalah suatu
tindakan yang di ambil oleh penguasa untuk menetralisir, menindak, atau
meniadakan suatu ancaman terhadap keamanan pemerintah, rezim yang berkuasa,
atau negara. Ada tiga governmental sanction dapat kita bedakan satu sama lain
yaitu :
1.
Penyensoran
2.
Pembatasan partisipasi politik
3.
Pengawasan
Yang
pertama meliputi semua tindakan pemerintah untuk membatasi, mengekang, atau
mengancam media massa seperti surat kabar,majalah,buku-buku,radio maupun
televisi. Pembatsan partisipasi politik meliputi tindakan-tindakan pemerintah
seperti pembuatan undang-undang keadaan bahaya,mobilisasi alat-alat keamanan
untuk memelihara keamanan dalam negeri, atau penentuan jam malam. Jenis governmental sanction yang ketiga meliputi semua tindakan pemerintah di mana
seorang atau sejumlah oarang ( warga negara atau orang asing ) di tahan dengan
tuduhan kegiatan mata-mata,sabotase, atau campur tangan di dalam
masalah-masalah politik dalam negeri yang mengancam keamanan negara.